Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Generasi Berkemajuan (Refleksi Milad IPM ke-55)


Oleh : Azaki Khoiruddin (Sekjen PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah)

Pada tanggal 18 Juli 2016 hari ini, Ikatan Pelajar Muhammadyah (IPM) genap berusia 55 tahun Miladiyah. Usia yang sudah cukup dewasa dan matang untuk ukuran sebuah organisasi kepemudaan di leval pelajar. Milad kali ini mengangkat tema “Menggerakkan Daya Kreatif, Mendorong Generasi Berkemajuan” Sebuah tema yang sangat relevan dengan kondisi generasi muda bangsa. Sejak kelahirannya tahun 1961 silam, IPM terus berbenah, mulai dari merangkak, berdiri, berjalan, hingga mampu berlari melakukan transformasi gerakan. IPM begeliat dan bergulat dengan realitas. Sudah menjadi takdir sejarah bahwa IPM merupakan organisasi sayap gerakan Muhammadiyah di kalangan pelajar.

Ketika berbicara IPM secara ideologis, tentu tidak bisa melepaskan diri dari induknya yaitu Muhammadiyah. Sebagai gerakan pelajar Muhammadiyah, paham ke-Islaman IPM pun harus merujuk kepada pemahaman Islam ala Muhammadiyah, yakni “Islam Berkemajuan”. Refleksi Gerakan Sebagai organisasi yang mempunyai basis massa pelajar, IPM harus memahami siapa pelajar itu, apa, bagaimana, serta mengapa berbagai macam persoalan muncul di tengah-tengah dunia pelajar. Aneh dan lucu, bila mengklaim dirinya aktivis IPM namun tidak mampu memahami secara mendalam (radical) seluk-beluk “pelajar” baik secara filosofis, sosiologis, psikologis, bahkan politis Sebagai gerakan yang menjadikan “pena” sebagai simbol gerakan. QS Al-Qalam ayat 1 sebagai landasan perjuangan. Maka kader-kader IPM tidak boleh malas dalam “mendialektikakan” antara pemikiran dan praktek gerakan.

Jika demikian, maka sebuah IPM lambat laun, pelan namun pasti akan mengalami stagnasi, kejumudan, pendangkalan, birokratis, dan tidak peka terhadap realitas yang sedang mengalami perubahan. Aktivitas IPM akhirnya hanya menjadi rutinitas balaka tanpa ada relevansi terhadap realitas. Sebaliknya jika IPM mampu mampu melakukan praktek refleksi-aksi atau aksi-refleksi secara simultan dan seimbang, maka IPM akan terus bergerak melakukan inovasi kreatif untuk menjawab persoalan pelajar. Tentu, apa yang dipersoalkan oleh gerakan pelajar satu dengan yang lainnya akan berbeda. Karena hal tersebut dipengaruhi oleh perbedaan gerakan. Paradigma inilah yang menentukan persepsi atau cara pandang seorang aktivis dalam melihat problem. Benar-salah, baik-buruk, masalah atau solusi, semua tergantung dengan paradigma yang digunakan.

Yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa keberlanjutan gerakan IPM tentu dipengaruhi oleh ide, gagasan, pemikiran serta paradigma yang terus bergulir dalam tubuhnya. Dalam sejarah telah terjadi transformasi paradigma gerakan sebagai respons terhadap realitas yang selalu berubah. Era Orde Baru I IPM memiliki paradigma Tri Tertib (tertib Ibadah, tertib belajar, dan tertib berorganisasi), era Orde Baru II IPM memiliki paradigma GATK (Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan), era Reformasi IPM mendeklarasikan Manifesto GKT (Gerakan Kritis-Transformatif), dan pasca Reformasi IPM dikenal sebagai “Gerakan Pelajar Berkemajuan”. Gerakan Berkemajuan Muktamar ke-19 2014, IPM telah menegaskan paradigma gerakannya sebagai gerakan ilmu, yang dibingkai dalam “Gerakan Berkemajuan”. Tantangan-tantangan yang dihadapi IPM tentu selalu dinamis dan unik. Siapapun yang ber-IPM harus mampu “menemukan kenunikannya”. Selanjutnya IPM harus mampu menggerakkan daya dan kekuatannya melalui banyak strategi kreatif.

Dengan meminjam konsep Fauzan A Sandiah (2016), pengiat Rumah Baca Komunitas di Yogyakarta Era IPM yang baru bersandar pada dua kata kunci penting sebagai cara merawat daya-kreatifnya, yaitu berbagi (sharing) dan kolaborasi. Inilah dua hal yang harus dimiliki generasi berkemajuan hari ini. Generasi Berkemajuan ditandai oleh keberhasilannya menemukan ruang diri (keunikan) yang selalu relevan dengan semangat zaman. Generasi berkemajuan mampu “mendorong pada kebaikan, dan mencegah kemungkaran” (amar ma’ruf nahyi munkar). Etos kolaborasi dan etos berbagi menjadi kekuatan atau daya gerak untuk memperkuat proses transformasi sosial budaya, ekonomi, dan politik.

Menurut hemat saya, paling tidak ada lima syarat untuk menjadi generasi berkemajuan sebagai mana semangat QS Al-Ashr. Pertama, bepikir melampuai zaman (futuristik, ashr). Kedua, tauhid murni, sebagai dasar aktivisme. Bahwa segala kegiatan sebagai bentuk pengabdian terhadap Allah Swt. Ketiga, pelembagaan ide kreatif menjadi kerja-kerja peradaban (amal shaleh). Keempat, bersikap kolaboratif dan berbagai dengan berbagai pihak sebagai kehendak murni mendorong kemajuan kehidupan (tawasau bil haq). Kelima, toleran, rendah hati, menebar cinta, dan kasih perdamaian dengan semua makluk (tawasau bis shabr). Demikianlah sekelumit apa yang dapat saya tuangkan dalam tulisan ini dalam rangka menyambut milad IPM ke-55. Semoga IPM selalu jaya, maju, berprestasi dan menginspirasi. Nuun Walqalami Wamaa Yasthuruun.

Spirit Ekoliterasi PP IPM 2016


Menulis adalah bagian dari pekerjaan menyelamatkan peradaban. Beberapa waktu belakangan ini nyaris semua kegetiran manusia di muka bumi adalah soal kondisi bumi yang berubah drastis. Perebutan sumber air bersih, lumpur lapindo yang tak kunjung selesai, pembangunan hotel yang tak sesuai amdal, pembakaran hutan, eksploitasi hutan sawit, dan tentu saja banyak contoh lain dapat dikemukakan untuk menjelaskan gentingnya kondisi bumi hari ini. tak ada yang dapat memastikan kapan reduksi material alam ini akan berhenti. Giddens, seorang ahli sosiologi menggambarkan kondisi dunia hari ini seperti truk besar (juggernaut) yang meluncur bebas dari satu titik terjal bukit menuju landai. Menurut Giddens, kondisi dunia hari ini diliputi oleh ketakpastian yang justru disebabkan oleh teknologi.

Alam dalam hal ini, menjadi korban yang paling menyedihkan. Nyaris semua orang berpikir soal “pindah dari bumi” tanpa pernah berpikir dan bertindak untuk menjaga bumi sebagai warisan bagi generasi di masa mendatang. Dalam rangka memperkuat kesadaran kolektif mengenai pentingnya menjaga bumi, Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah bermaksud menyelenggarakan sayembara kepenulisan.

Peran-peran kolektif dan individu dalam menyelamatkan bumi harus didukung oleh banyak pihak, termasuk di dalamnya membangun kesadaran ekoliterasi melalui aktivitas menulis. Melek ekologi (ecoliteracy) adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Fritjof Capra seorang filosof, untuk menggambarkan tingkat kesadaran manusia yang paling tinggi, yakni menghargai lingkungan hidup (ekosistem). Menurut Capra, masa depan manusia bergantung pada kesadaran ekoliterasi. Upaya menuju melek ekologi harus diperkuat melalui kampanye dan sosialisasi tentang pentingnya menjaga alam. Melalui sayembara kepenulisan dengan tema “Spirit Ekoliterasi untuk Islam Berkemajuan” diharapkan pembentukan kesadaran bahwa manusia merupakan khalifah fil al-ardh menjadi lokus dari gerakan Islam Berkemajuan Muhammadiyah bagi lingkungan. IPM, sebagai organisasi otonom Muhammadiyah memiliki peran untuk menjaga konsep khalifah fil al-ardh sebagai bentuk manusia al-ma’un dan al-'ashr.

 Adapun proses penilaian sayembara mempertimbangkan beberapa hal berikut: Pertama, konten tulisan. Karya tulis ekoliterasi yang diharapkan dari setiap peserta melibatkan informasi objektif, refleksi subjektif, dan perspektif kritis-transformatif. Konten tulisan yang mampu menunjukkan tiga hal ini akan menjadi sebuah karya yang baik. Secara umum, juri menemukan narasi-narasi besar mengapa alam menjadi rusak dan mengapa menjadi sangat penting keterlibatan kelompok muda untuk merespon kerusakan alam. Beberapa alasan menurut para penulis, ialah narasi soal (1) global warming, (2) hak dan kewajiban manusia sebagai penghuni bumi, (3) dampak industri, (4) human non educated, (5) ideologi pembangunan yang eksploitatif. Variatifnya narasi-narasi yang dikemukakan oleh penulis menunjukkan generasi muda saat ini cukup jeli melihat persoalan.

Era keterbukaan informasi menjadi alasan beragamnya perspektif yang digunakan. Hal ini mempengaruhi konten yang mengangkat beberapa topik berikut: (1) menggagas gerakan peduli lingkungan, (2) mendorong keterlibatan lembaga pendidikan dalam konservasi ekologi, (3) mengkritisi eksploitasi lingkungan industri, (4) informasi mengenai perkembangan gagasan peduli lingkungan di setiap sekolah, (5) solusi atas kerusakan lingkungan.

Kedua, penyajian narasi. Karya tulis yang dikirim pada umumnya terdiri atas teknik penulisan dan gaya penyajian narasi yang beragam. Hal ini tentu saja merupakan suatu kelebihan khusus yang dimiliki oleh setiap peserta lomba kepenulisan ekoliterasi. Para juri memahami bahwa menulis data yang komprehensif tidak akan menjamin penyajian narasi yang menggugah. Pada masa sekarang, informasi mengenai kerusakan lingkungan sebenarnya sangat lazim. Terutama narasi soal global warming yang sangat popular diterima publik sebagai konsepsi perubahan lingkungan. Juga soal peran masyarakat sipil secara individual yang mempercepat proses kerusakan. Narasi umum semacam ini tentu saja harus dikemas dan disajikan secara baru dan kritis. Penyajian narasi yang kita butuhkan saat ini adalah narasi yang mampu melampaui keterangan-keterangan semacam itu. Beberapa penulis mencoba teknik penulisan reflektif subjektif. Teknik demikian sangat bagus untuk mengungkapkan kondisi kerusakan lingkungan secara baru dan menarik.

Ketiga, kepesertaan. Lomba sayembara kepenulisan ekoliterasi melibatkan banyak peserta. Mereka pada umumnya memang tidak diseleksi berdasarkan jenjang pendidikan. Hasilnya, para peserta menunjukkan karya tulis yang informatif dan menarik. Semua tulisan yang masuk ke juri termasuk karya tulis yang layak. Memang terdapat beberapa kesalahan teknis penulisan, tetapi hal itu tidak menjadi soal karena pertimbangan konten begitu kuat. Kepesertaan dari jenjang pendidikan menengah pertama juga menunjukkan kemampuan menulis yang bagus.

Unas, Enas, lalu Apa Lagi?


Belum selesai polemik Kurikulum 2013, kini siswa, guru, dan orang tua murid kembali dibuat bingung dengan rencana perubahan ujian nasional (unas). Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) baru saja melempar isu untuk mengganti unas dengan evaluasi nasional (enas).

Siswa kelas IX dan kelas XII saat ini tentu risau. Selama ini mereka sudah menyiapkan diri untuk menghadapi unas yang tinggal lima bulan lagi. Seperti apa konsep enas juga belum jelas. BSNP baru akan mengumumkan minggu depan. Mendikbud Anies Baswedan juga masih enggan memberikan penjelasan mengenai enas tersebut.

Ibarat sedang balapan motor, para siswa kelas IX dan XII itu sudah ngebut menuju finis dan tinggal beberapa lap lagi. Tiba-tiba wasit mengumumkan perubahan tempat finis. Tentu, para pembalap akan dibuat gusar dan bisa-bisa nyasar.

Kalau ternyata unas dan enas sama saja, hanya perubahan istilah, para siswa akan lega. Tapi, apa gunanya mengubah istilah saja. Itu justru akan menunjukkan bahwa rezim pendidikan sekarang hanya ingin beda dengan rezim sebelumnya.

Apabila perubahan istilah itu juga dibarengi dengan perubahan konsep, tentu para siswa yang sudah menyiapkan diri untuk unas menjadi semakin resah. Bagi siswa, perubahan konsep berarti harus mengubah strategi. Siswa akan lega apabila ternyata enas tidak lagi menentukan kelulusan atau sekadar evaluasi.

Perubahan di tengah tahun pelajaran jelas tidak tepat. Siswa akan menjadi korban dari kebijakan tersebut. Jangan karena ambisi harus beda dengan rezim sebelumnya, pembuat kebijakan di bidang pendidikan tidak peduli dengan stresnya para siswa dan orang tua murid.

Publik pun jadi penasaran. Kira-kira, setelah enas, apa lagi yang akan diganti istilahnya oleh Kemendikbud. Sistem penerimaan siswa baru (PSB) barangkali yang akan menjadi sasaran perombakan setelah ini. Rasanya sial menjadi siswa yang ketika masa akhir studi bersamaan dengan tahun pemilu. Karena akan mengalami rezim. Kalau rezim pendidikan berganti, siap-siap ganti kurikulum, ganti buku, ganti jam belajar, dan seterusnya.

Sebagai sosok yang cerdas dan matang, Mendikbud Anies Baswedan sebaiknya tidak terus menghadirkan kebingungan-kebingungan baru. Tidak perlu harus terkesan mendiskreditkan Mendikbud sebelumnya. Publik akan lega kalau, misalnya, Mendikbud sekarang dan sebelumnya bertemu dan bersinergi.

Saat ini harus dipastikan sampai kapan perubahan kebijakan pendidikan tersebut bergulir. Setahun lagi, dua tahun lagi, atau selama lima tahun akan terus ada perubahan istilah dan sistem pendidikan? 

(Sumber : Jati Diri Jawapos 26 Desember 2014)

Meniru (Rhenald Kasali)


Anak kecil umumnya suka meniru. Ketika orang tuanya berangkat ke kantor sambil menenteng tas kerja, anak-anak suka mengikutinya. Saat kakaknya berangkat sekolah, adik kecil pun ingin ikut sekolah, minta dibelikan tas, buku, dan alat tulis. Lalu, berpura-pura belajar di rumah dengan mencorat-coret. Bahkan, lantai atau tembok di rumah jadi sasaran.

Malam, saat orang tuanya istirahat sambil –maaf– minum kopi dan merokok, anak-anak pun bisa menirunya. Anak lantas melinting kertas, menjepitnya dengan jari, dan mengisapnya. Kalau kurang pengawasan, lintingan kertas itu pun dibakar dan diisap asapnya sampai terbatuk-batuk.

Maka, hati-hatilah orang tua. Jangan melakukan sesuatu yang tidak pantas di hadapan anak-anak. Anda bakal repot di kemudian hari. Termasuk cara Anda marah saat mobil disalip pengemudi lain atau mendamprat orang yang tidak berdaya.

Bahkan, menjelang dewasa, remaja pun suka meniru. Entah itu gaya berbusana artis, potongan rambut, sampai sepeda motor dan pilihan sekolah. Bahkan, belakangan banyak orang dewasa yang suka merintis karir dengan ikut-ikutan meniru.

Belakangan ada juga kaum muda yang gemar meniru karir orang-orang sukses. Ada yang polos, ada juga yang sengak. Setelah coba-coba dan tidak berhasil, lama-lama belajar mengejek orang lain sambil colek-colek para ahli untuk mengadu domba agar terlihat hebat. 

Tidak sedikit di antara peniru yang mengganggu sehingga Twitter mereka terpaksa diblok walaupun mereka menunjukkan fotonya bersama bintang pujaan, seakan tidak ada masalah. Mereka diblok bukan karena pendapatnya hebat, melainkan karena amat mengganggu: annoying!

Main Kubu-kubuan

Lambat laun saling meniru juga mewabah di kalangan politisi. Mulai gaya interupsi, mengetuk palu tanpa mendengarkan, bersekongkol untuk mengegolkan orang tertentu dalam jabatan, lompat ”pagar”, gaya menekan dan menghina pejabat dalam rapat dengar pendapat, cara menulis komentar di social media, sampai membentuk partai tandingan. Tidak ketinggalan pula korupsi dalam pembebasan tanah, perizinan, sampai praktik kawin siri dan mobil sport mewah.


Jadilah sebuah tontonan yang tidak menarik kala politisi memainkan drama tiru-tiruan yang merugikan publik, pakai duit kita. Karakternya tidak ada. Hanya kumpulan topeng badut yang tidak memedulikan apa kata publik. Bayangkan, Partai Golkar berubah haluan dalam hitungan hari terhadap sikapnya yang diputuskan pada munas dengan ketukan penuh semangat dan tepuk tangan meriah saat menolak perppu terkait pilkada langsung. Satu partai menolak, yang lain buru-buru meniru. Padahal, bukan itu obrolan sehari-hari mereka. Ketika bos besar berubah haluan, pengikut bukannya mundur karena tidak percaya pada karakternya, melainkan ikut-ikutan berubah haluan.

Tiru-meniru di parlemen dengan terbentuknya dua kubu, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), juga cepat menjalar ke bawah, ditiru di tingkat provinsi. Di Jakarta, DPRD-nya ikut-ikutan memiliki kubu KMP. Kubu itu juga menempatkan dirinya sebagai pihak oposisi bagi pemerintahan daerah yang sekarang berkuasa.

Aksi tiru-tiru tidak hanya terjadi di DPRD. Ketika Presiden Joko Widodo melantik Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur DKI Jakarta, ternyata ada pihak lain yang meniru dengan melantik orang lain juga sebagai gubernur DKI Jakarta. Yang membedakan cuma satu: sumber duitnya.

Benar-benar menggelikan.

Fenomena ATM

Sebetulnya di dunia bisnis, tiru-meniru adalah hal yang biasa. Kaum muda menyebutnya ATM. Bukan anjungan tunai mandiri, melainkan amati, tiru, dan modifikasi. Katanya, supaya tidak dianggap pecundang, jangan jadi plagiat. Harus ada perbaikan. Tapi, peniru yang hebat selalu diikuti R&D yang unggul, bukan cuma ikut-ikutan konyol.

Di dunia bisnis, kita mengenal juga perusahaan yang hasil tiruannya lebih baik ketimbang produk aslinya. Contohnya, Samsung asal Korea Selatan. Mereka meniru berbagai produk smartphone, termasuk iPad dari Apple. Kita tahu kini produk smartphone dan gadget Samsung merajai pasar. Kualitasnya baik, inovasi barunya jalan terus, harganya pun bersaing.

Begitu pula, produk-produk elektronik buatan Samsung kini mulai meninggalkan buatan Jepang. Kini kita lebih mudah menemukan TV merek Samsung ketimbang Sony.

Di negara kita pun fenomena serupa terjadi. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa perintis rokok mild adalah Bentoel. Tapi, Anda tentu bisa menilai siapa yang lebih sukses. Iya, HM Sampoerna.

Di bisnis perbankan, dulu Bank Niaga adalah yang mengawali penggunaan mesin ATM di tanah air. Lagi, Anda tentu bisa menilai bank mana yang kemudian memiliki jaringan mesin ATM paling banyak dan paling luas di negara ini.

Sayangnya, fenomena ATM semacam itu tidak terjadi di dunia politik. Sebab, hasil tiruannya betul-betul lebih buruk.

Maka, yang begini jangan kita tiru-tiru!)*

)* Akademisi, praktisi bisnis dan guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

(Sumber : Perspektif Jawapos 22 Desember 2014)

Mengukur Daya Tahan Jokowi


Pemerintahan Jokowi-JK berencana memangkas lagi subsidi bahan bakar minyak (BBM) melalui penerapan subsidi tetap sebesar Rp 2.000 per liter mulai bulan depan. Itu berarti, harga BBM –terutama premium– akan naik-turun mengikuti tren harga minyak dunia dan nilai tukar USD. Kebijakan yang sama pernah diterapkan di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Titik krusial dari kebijakan itu adalah harga keekonomian. Penentuan harga keekonomian premium menggunakan acuan harga minyak mentah rata-rata di pasar Singapura (MOPS) dan posisi nilai tukar rupiah terhadap USD. Pekan lalu, dengan harga minyak dunia USD 60 per barel dan nilai tukar USD 12.300, nilai keekonomian premium Rp 8.665. Artinya, pemerintah hanya perlu memberikan subsidi Rp 165 per liter. Itu menurun bila dibandingkan dengan subsidi saat kenaikan harga BBM pada November lalu, yakni Rp 700 per liter.

Bila tren penurunan harga minyak dunia terus berlanjut dan nilai tukar berbalik menguat, pemerintah justru bisa meraup untung dari penjualan premium. Bila harga premium dipertahankan, kondisi tersebut berpeluang mendorong deflasi. Namun, saat harga minyak dunia meningkat dan nilai tukar terus melemah, harga keekonomian premium semakin mahal sehingga harga BBM otomatis naik lagi.

Perekonomian dunia yang demam gara-gara kebijakan Amerika Serikat memanggil pulang USD dan melimpahnya produksi minyak shale membuat harga minyak mentah dunia menurun. Akibatnya, perekonomian Rusia menurun sehingga rubel melemah. Kondisi itu diperkirakan berlanjut tahun depan dan sejumlah analis menyatakan, tidak tertutup kemungkinan kondisi tersebut akan bertahan hingga 2020. Artinya, peluang pelemahan rupiah diperkirakan masih berlanjut dan mungkin bertambah buruk jika neraca perdagangan Indonesia yang terlalu mengandalkan komoditas sawit dan batu bara tidak berubah.

Tahun depan pemerintahan Jokowi juga berencana mengurangi subsidi listrik rumah tangga 900 kW yang efeknya akan seperti kenaikan harga BBM. Demikian pula dengan pencabutan PSO (public service obligation) yang mengakibatkan harga tiket kereta api ekonomi jarak menengah dan jauh meningkat signifikan mulai Januari. Semua tekanan tersebut diprediksi dapat mengakibatkan inflasi meningkat sehingga melemahkan nilai tukar rupiah.

Kita sepakat dengan subsidi tetap BBM dan mengalihkan penghematan subsidi BBM pada pembangunan infrastruktur. Namun, pemerintah harus memastikan penghematan tersebut tidak digunakan untuk meningkatkan belanja aparatur. Pemerintah juga harus menerapkan kebijakan tepat waktu dengan mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat.

Kita memahami, secara politik, Jokowi-JK berjudi dengan keputusannya mengambil kebijakan nirpopuler. Boleh saja Jokowi yakin kebijakannya bermanfaat dalam jangka panjang. Namun, daya tahan masyarakat terhadap tekanan ekonomi secara bertubi-tubi memiliki batas. Sebab, tekanan pada daya beli masyarakat tidak saja dilakukan pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah. Jokowi-JK harus mampu mengukur dengan tepat agar tekanan tersebut tidak menjadi bola liar.

(Sumber Jati Diri Jawapos 20 Desember 2014)

Rupiah dan Tumbangnya Dua Presiden (Endang Suryadinata)


Siapa atau apakah yang paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia? Jawabnya bukan para raja atau presiden, tapi uang. Rhoma Irama pernah menciptakan lagu berjudul Rupiah yang liriknya, antara lain, berbunyi:

Tiada orang yang tak suka
Pada yang bernama rupiah
Semua orang mencarinya
Di mana rupiah berada
Walaupun harus nyawa sebagai taruhannya
Banyak orang yang rela cuma karena rupiah
Memang sungguh luar biasa
Itu pengaruhnya rupiah

Jack Weatherford, profesor antropologi di Macalester College, Minnesota, AS, pernah menulis, sejak muncul 3.000 tahun lalu di Afrika Utara, uang punya pengaruh luar biasa, kendati uang ’’per se’’ tidak memiliki makna apa pun. Uang berpengaruh dan bermakna sejauh dikaitkan dengan manusia. Selama berabad-abad, mitologi dan sastra Barat suka mengisahkan jatuh bangun manusia dalam proses meraih atau menghabiskan uang. Itulah yang, antara lain, diungkapkan Weatherford dalam buku The History of Money (Crown Publishers, New York, 1997).

Demikian pula dalam sejarah kita, uang punya peran sangat besar. Lihat merosotnya rupiah hari-hari ini hingga mendekati Rp 13.000 per dolar Amerika (USD) pada penutupan Rabu (16/12). Jujur, pelemahan terburuk sejak 1999 itu membuat kita semua cemas, terlebih para pelaku ekonomi. Bagi orang awam, merosotnya rupiah jelas langsung berpengaruh apalagi menjelang Natal dan Tahun Baru.

Banyak analis yang menulis, kurs rupiah yang mendekati Rp 13.000 per USD tersebut dinilai sudah jatuh jauh dari fundamentalnya.Banyak faktor pelemahan rupiah. Salah satunya tidak terlepas dari langkah pemerintah dan Bank Indonesia (BI) yang memilih jalan untuk memperlambat perekonomian lewat kebijakan moneter ketat.

Yang kita takutkan adalah terjadinya capital flight (arus modal keluar dari Indonesia). Menurut riset First Asia Capital, keluarnya modal asing dari pasar keuangan Indonesia telah memperburuk kinerja rupiah terhadap dolar AS sepanjang Desember ini. Berdasar kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah terhadap dolar AS sepanjang bulan ini telah anjlok 3,3 persen.

Anehnya, dalam situasi dan kondisi (sikon) demikian, pemerintah dinilai tidak melakukan upaya intervensi. Malahan, ada persepsi di kalangan pelaku pasar bahwa BI seolah menyetujui pelemahan kali ini. Tidak heran jika guru besar ekonomi Profesor Sri Edi Swasono menulis surat terbuka ke Mahkamah Konstitusi karena BI kehilangan tugas dan tanggung jawab ketika rupiah berada dalam sikon gawat, sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) justru melindungi kepentingan asing.

Sebenarnya, sudah beberapa kali dalam sejarah negeri ini rupiah anjlok secara drastis. Misalnya, Oktober 2008 seiring terjadinya krisis finansial global. Memang, kalau kita melihat perjalanan rupiah, khususnya bila dibandingkan dengan mata uang asing seperti USD, sejak berdirinya negeri ini, rupiah terus merosot atau terkoreksi.Tidak heran jika pemerintah sering mendevaluasi rupiah.

Misalnya, 7 Maret 1946, terjadi devaluasi rupiah 29,12 persen. Semula, USD 1 setara dengan Rp 1,88, lalu menjadi Rp 2,6525 per USD. Jadi, ketika itu, nilai rupiah termasuk kuat. Pada Februari 1952, rupiah didevaluasi 66,67 persen.Semula, USD 1 setara Rp 3,80, lalu menjadi Rp 11,40 per USD.

Kemudian, pada 1964, rupiah didevaluasi 1 USD = Rp 250. Namun, di pasar gelap, nilainya bisa Rp 2.000 per USD. Bayangkan, pada April 1964, rupiah jadi Rp 10.000 per USD. Pada November 1964 bahkan menjadi Rp 28.000 per USD. Dan yang paling parah, Desember 1965, nilai rupiah anjlok menjadi Rp 35.000 per USD seiring jatuhnya rezim Soekarno.

Yang boleh jadi tidak bisa dilupakan adalah kejadian pada 13 Desember 1965, yakni ketika pemerintah mengumumkan nilai uang lama sebesar Rp 1.000 harus ditukarkan dengan uang baru senilai Rp 1. Banyak orang yang menjadi gila ketika itu, termasuk beberapa kerabat penulis yang gagal pergi haji atau bisnisnya merugi dan bangkrut.

Menjelang tumbangnya Soeharto yang dianggap berkontribusi dalam menumbangkan Bung Karno, rupiah juga menjadi saksi. Pada awal krisis moneter, sekitar Oktober 1997, rupiah yang masih bernilai Rp 2.300 per USD dengan cepat merosot menjadi Rp 5.000, kemudian terus terjun bebas menjadi Rp 10.000, dan puncaknya pada April 1998 menjadi Rp 17.200 per USD. Itu berarti rupiah terdevaluasi 750 persen dalam setahun. Soeharto pun lengser pada 21 Mei 1998.

Jadi, begitulah, dalam sejarahnya, rupiah kerap terkoreksi, terdepresiasi, bahkan terdevaluasi. Ada yang menyebut rupiah merupakan satu di antara tujuh mata uang yang masuk kategori troubled currency atau gampang anjlok nilai tukarnya (Business Insider, 29/7/2013).

Akhirnya, akankah anjloknya rupiah kali ini berpengaruh pada posisi Presiden Jokowi? Kita tunggu saja.)*

)*Penulis dan peneliti Sejarah, Alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam

(Sumber Opini Jawapos 18 Desember 2014)

Penyediaan Buku Pascamoratorium K-13 (Misbahul Huda)


Keputusan Anies Baswedan, menteri kebudayaan dan pendidikan dasar-menengah, kembali ke kurikulum 2006 adalah langkah mundur. Apalagi, alasan moratorium K-13 juga tidak mendasar, sangat teknis operasional. Tidak heran jika banyak yang menduga kebijakan tersebut kental muatan politik, sekadar memenuhi euforia moratorium rezim Joko Widodo untuk menunjukkan keinginan ”asal beda” dengan pemerintahan sebelumnya. Bahkan, menteri secerdas Anies Baswedan seperti kehilangan kecerdasannya dengan ”melupakan” bahwa dirinya ikut menyusun K-13 (Jawa Pos, 9/12).

Kurikulum 2013 secara substansi diakui oleh banyak pihak tidak bermasalah. Kalaupun ada masalah teknis, mestinya dicarikan solusi perbaikan, bukan balik mundur ke KTSP. Jika alasan moratorium K-13 adalah ketidaksiapan guru dan pengadaan buku, kembali ke KTSP bukan berarti bebas dari dua persoalan besar tersebut. Bahkan mungkin lebih rumit lagi.

Apalagi, M. Nuh, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, juga membantah tuduhan ketidaksiapan guru. Sebab, Kemendikbud pernah mengadakan UKG (uji kompetensi guru) untuk mengevaluasi penguasaan guru terhadap kurikulum 2013. Nilai UKG saat itu rata-rata 71. Jauh lebih baik ketimbang nilai UKG terhadap KTSP pada 2012 dengan rata-rata 45. Padahal, kurikulum 2006 itu sudah enam tahun berlaku.

Paradoks Pengadaan Buku

Di satu sisi, Anies mengakui bahwa mengubah kurikulum pendidikan seperti mengubah arah kapal tanker sepanjang 500 meter. Membelokkan arah laju kapal itu tidak bisa langsung, butuh haluan panjang. Namun, di sisi lain, Anies justru bermanuver mendadak dan berbelok ke jalur lama. Padahal, dia belum genap dua bulan menjadi menteri. Belum cukup waktu untuk mengidentifikasi permasalahan riil kurikulum 2013 (JPNN, 9/12).

Di satu sisi, Anies menilai persoalan keterlambatan distribusi buku sebagai alasan utama moratorium K-13. Namun, di sisi lain, kebijakan kembali ke KTSP juga tidak menyiapkan sama sekali buku KTSP. Bahkan Kemendikbud berterus terang belum punya kebijakan apa-apa soal penyediaan buku KTSP itu (Jawa Pos, 8/12).

Kalau Kemendikbud tidak mampu menyediakan buku KTSP, menyoal ketersediaan buku sebagai alasan kebijakan moratorium K-13 itu mestinya tidak relevan lagi. Ketidaksiapan pengadaan buku KTSP diakui oleh Mendikbud Anies di Kemendikbud, Jakarta, Sabtu (6/12). ”Pokoknya, saya enggak bisa mengimbau (orang tua beli buku), bergantung dari sekolah. Dan daerah juga punya porsi berbeda-beda,” ucap dia.

Kali ini Anies hendak ”melawak” dengan lelucon yang tidak lucu. Ketika pemerintah cuci tangan dengan tidak menyediakan buku KTSP, pastilah orang tua terpaksa membeli meskipun dengan berat hati. Sebab, harga pasarnya bisa 3–4 kali lebih mahal daripada buku murah K-13 yang rata-rata di bawah Rp 10.000 per eksemplar. Bagi orang tua yang mampu, angka tersebut tidak memberatkan. Tetapi, bagaimana dengan banyak orang tua kurang mampu yang masih berharap pendidikan dan buku gratis sebagai realisasi anggaran pendidikan yang ratusan triliun rupiah itu?

Di sisi lain, kalaupun orang tua bersedia membeli buku sendiri, ketersediaan buku KTSP di toko buku sangat terbatas, belum tentu mencukupi. Masih jelas dalam ingatan kita, pengadaan serentak buku K-13 dengan cara ditenderkan serempak saja tidak selesai dalam setahun, apalagi KTSP yang dilepas dengan mekanisme pasar.

Berharap pemerintah daerah/kota menyediakan buku gratis dalam tempo sesingkat ini adalah hal yang mustahil. Sepertinya lupa dipertimbangkan bahwa membuat mata anggaran baru atau merevisi APBD, kemudian tender dan pencetakan buku serta distribusinya tidak cukup dalam enam bulan. Sementara pelaksanaan penggantian kurikulum tersebut akan efektif pada semester II 2015 yang tinggal tiga pekan lagi. Mana mungkin?

Bisa jadi Kemendikbud berharap dana BOS dan DAK yang sudah ada dan beredar di sekolah bisa segera dialihkan untuk pengadaan buku KTSP secara mandiri. Tetapi, mungkin lupa bahwa dana tersebut sudah terikat kontrak payung dengan LKPP untuk pengadaan buku kurikulum 2013.

Jika LKPP, Kemendikbud, atau sekolah dengan sepihak menghentikan kontrak tersebut, bukan tidak mungkin pemerintah cq Kemendikbud akan menerima hujan protes dan somasi dari puluhan rekanan percetakan yang sudah berdarah-darah mencetak buku K-13. Mereka bersiap-siap mem-PTUN-kan Kemendikbud jika penghentian kontrak sepihak itu terjadi. Kekecewaan tersebut bisa dimaklumi. Sebab, di antara percetakan, ada yang puluhan bahkan ratusan miliar rupiah dananya belum bisa dicairkan, sementara bukunya terkatung-katung di gudang dan atau agen pengiriman.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Sebab, beberapa sekolah sudah menolak dikirimi buku K-13 sejak Anies menghentikan kurikulum itu. Bahkan, yang sudah dikirimi pun enggan membayar. Ketika ditagih, dengan enteng mereka mempersilakan percetakan mengambil kembali buku tersebut dari sekolah.

Bisa dibayangkan berapa triliun rupiah kerugian pemerintah yang juga berdampak pada kerugian perusahaan percetakan –yang dengan margin tipis telah rela bekerja demi mencerdaskan bangsa, tapi harus berakhir tragis.

Masyarakat berhak menuntut komitmen dan tanggung jawab Kemendikbud atas penyediaan fasilitas buku sesuai KTSP. Mengingat, anggaran pendidikan nasional yang dialokasikan pada kementerian tersebut ratusan triliun rupiah dan untuk apa saja. Jika tidak, tidak salah bila publik mengecam kebijakan moratorium K-13 itu sebagai langkah mundur yang membuat pendidikan di negeri ini semakin amburadul. (*)

*Pengusaha, Penulis Buku, dan Motivator

(Sumber : Opini Jawapos 16/12/2014)

Kartun Clekit Jawapos 9


Pada postingan kali ini saya akan berbagi kartun clekit jawapos, dan tema kali ini kebanyakan dari perubahan K13, uang negara kita yang melorot tajam setelah terburuk agustus 1999, hingga menyindir anggota dewan. Berikut adalah beberapak kartun karikatur nya :








Credits Jawapos
Terima kasih sudah berkunjung dan semoga terhibur.

Kartun Clekit Jawapos 8


Kembali saya memposting kartun milik Jawapos yang kian hari kian membuat saya tertawa perihal masalah yang menimpa negeri ini. Bagaimana tidak setiap harinya makin banyak kebijakan yang masuk kategori absurd, yaitu tidak jelas. Tema kali ini mengenai kartu sakti jokowi, akurnya KMP dan KIH dan lain sebagainya. Berikut adalah kartun tersebut.






Terima kasih sudah berkunjung dan semoga dapat terhibur.

Kartun Clekit Jawapos 7


Pada postingan kali ini saya ingin berbagi kartun seru dari jawapos, bukan kartun seperti kebanyakan kartun lainnya jawapos menghadirkan kartun yang menyindir perilaku menyimpang di pemerintahan maupun di masyarakat. Dan kali ini membahas masalah hari sumpah pemuda yang dikaitkan dengan perubahan EYD seperti kartun di atas. Selain itu juga ada kartun yang menyindir saling bunuh kekuasaan antara KMP dan KIH di pemerintahan. Berikut adalah kartun - kartun yang lainnya.







Terima kasih sudah berkunjung dan semoga terhibur.

Kartun Clekit jawapos 6


Pada postingan kali ini saya akan berbagi kartun dari koran Jawapos yang mungkin bisa melepas penat dari kesibukan yang telah membebani kita setiap harinya. Sama seperti sebelumnya kartun edisi kali ini juga menyinggung masalah yang hangat terjadi di Masyarakat. Berikut adalah beberapa ilustrasi kartun penyindir pemerintahan maupun masyarakat kita.









Copyright Jawapos
Terima kasih sudah berkunjung dan semoga terhibur.

Menayangkan Kembali Kartun Teletabis


Era globalisasi di zaman sekarang sudah mulai tidak bisa dibendung, buktinya berbagai macam budaya baru muncul di Indonesia dan tidak sesuai dengan adat ketimuran yang kita miliki. Mulai dari gaya berpakaian, gaya hidup, gaya rambut, hingga berbagai macam hiburan. Berbicara masalah hiburan di TV yang akhir – akhir ini disoroti oleh publik akibat semakin tidak sesuai dengan akhlaq yang dimiliki, kita bisa membandingkan hiburan di TV dari zaman dahulu hingga sekarang. Semakin kesini, semakin tidak sesuai dengan budaya ketimuran kita.

Karena peringkat pertama penonton TV adalah anak – anak maka, sangat riskan jika kita membiarkan anak – anak menonton acara TV yang tak selayaknya untuk ditonton. Seperti (bukan bermaksud menghina) sinetron yang mulai tidak jelas ceritanya dan sangat minim nilai hidup yang didapat. Contohnya adalah Ganteng – ganteng Sule, atau Manusia Kucing dan lain sebagainya yang sangat tidak layak untuk ditonton oleh anak – anak kecil. Kenapa saya mengatakan tidak layak karena melihat adegan – adegan percintaan yang sebegitu alay nya dan alasan – alasan lain yang tidak mungkin saya sebutkan disini.


Semakin hari acara anak – anak di TV yang memiliki nilai kebaikan semakin surut. Baik anak – anak maupun orang tua sangat rindu dengan acara TV yang mengedepankan pesan kehidupan bukan mengedepankan rating. Bukti dari mundurnya kualitas hiburan di TV adalah adanya wacana penghapusan kartun barat seperti Spongebob, Tom and Jerry dan lain sebagainya yang telah digantrungi oleh anak – anak kecil selama hampir 2 dekade ini. Wacana tersebut sontak membuat para orang tua gerah, sebagai wujud pelampiasan kekecewaannya, fans page dari KPI atau Komisi Penyiaran Indonesia dibrondong habis dan menjadi trending topic di twitter waktu itu dengan hashtag #savespongebob. Selain itu banyak bermunculan meme tentang spongebob yang membandingkannya dengan sinetron GGS dan juga MH.


Oleh karena itu alangkah baiknya jika KPI yang merupakan induk penyiaran acara di TV Indonesia lebih selektif lagi dalam menyeleksi acara – acara TV yang nantinya akan mempengaruhi sikap maupun perasaan yang menonton. Seperti halnya ketika zaman saya kecil dulu terdapat kartun maupun film yang mendidik, kita ambil satu contoh adalah film karangan Amerika yaitu Teletabis. Siapa yang tidak mengenal film ini pada medio 2000 an, anak kecil hingga dewasa pun tahu tentang film ini. Film yang bergenre anak – anak ini memang didalamnya mengandung berbagai macam unsure penyokong hidup yang baik, diantaranya adalah persahabatan, saling berbagi hingga kepemimpinan yang menurut pandangan saya sangat jarang ada film zaman sekarang yang mengedepankan unsur pelajaran hidup walaupun itu adalah film anak – anak.

Maka dari itu perlulah kiranya untuk menayangkan kembali film tersebut mengingat akan adanya pesan tersirat maupun tersurat yang sekarang telah digantikan oleh film TV yang mengedepankan nilai industri, bukan pesan moral.

Sarjana Kertas (Rhenald Khasali)

Suatu pagi saya iseng menyimak iklan lowongan kerja di berbagai media cetak. Jangan salah paham, saya tidak sedang mencari-cari pekerjaan. Iseng saja. Ketika membaca iklan-iklan tersebut, ternyata di sana saya masih menemukan lowongan yang mencari tenaga kerja untuk kategori official development program (ODP) dan management trainee (MT).

Bagi mereka yang bergerak dalam bidang sumber daya manusia (SDM), istilah ODP atau MT menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan harus menempa dulu para fresh graduate yang direkrutnya sebelum menerjunkannya ke dunia kerja. Itu tentu membutuhkan investasi tersendiri yang tidak murah.

Beberapa perusahaan besar, saya tahu, memiliki semacam pusat-pusat pendidikan dan pelatihan untuk menempa para fresh graduate tersebut. Di sana, mereka diajari mulai sejarah perusahaan, tata nilai dan budaya kerjanya, sampai hal-hal praktis yang terkait dengan pekerjaan sehari-hari. Ada pula yang sampai memberikan soft skill-nya.

Semua itu –pakai bahasa langsung saja– cermin betapa kebanyakan fresh graduate kita belum siap kerja, mentalitas passenger. Mereka baru siap tempa. Sebagai seorang pendidik, itu tentu menjadi semacam otokritik untuk saya. Rupanya banyak materi pelajaran di perguruan tinggi yang tidak nyambung dengan kebutuhan industri.

Moral Hazard

Sekarang mari kita lihat potret yang lebih besar lagi. Menurut kajian McKinsey Global Institute, Indonesia (2012) menempati peringkat ke-16 perekonomian dunia dan memiliki 55 juta tenaga terampil (skilled worker). McKinsey memperkirakan, pada 2030 Indonesia akan menjadi negara terbesar ketujuh di dunia. Untuk sampai ke sana, kita membutuhkan 113 juta skilled worker.
Apa artinya? Di sini kita bicara mengenai skilled worker, tenaga terdidik yang betul-betul terampil. Betul-betul kompeten. Atau, kalau kita sederhanakan, siap kerja, bukan hanya bergelar S-1, S-2, atau S-3.

Celakanya, sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita masih mengidolakan gelar. Bahkan, gelar pendidikan kerap berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan. Masih banyak promosi jabatan di lingkungan instansi pemerintahan maupun BUMN yang ditentukan oleh gelar.


Maka, tak heran kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), juga pegawai BUMN dan swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 atau S-3. Sebab, hanya dengan cara itulah, mereka bisa naik jabatan menjadi kepala bagian, misalnya. Atau, kalau di BUMN, mungkin bisa menjadi general manager.

Bahkan, saat kampanye politik, gelar akademis, apalagi kalau sampai berderet, seakan membuat peluang seseorang untuk terpilih lebih besar. ”Daya jualnya” menjadi lebih tinggi. Kalau dia terpilih, pasti kesejahteraannya meningkat.

Pada banyak kasus, kondisi semacam itu memicu moral hazard: memperoleh gelar jauh lebih penting ketimbang mencari ilmu guna meningkatkan kompetensi. Jadi, asal bisa mencantumkan gelar S-1, S-2, atau S-3, meski perguruan tingginya entah berada di ruko sebelah mana atau numpang di salah satu sekolah, bukan persoalan. Bahkan, tak penting pula dosen-dosennya datang dari mana. Pokoknya asal bisa lulus dan bisa memperoleh gelar.

Kita juga bisa memotret fenomena itu dari maraknya bisnis jasa pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi. Jasa-jasa itu tersedia karena para mahasiswa ingin cepat lulus dan memperoleh gelar sesuai dengan keinginan mereka.

Bahkan, ada yang caranya lebih kasar, jual beli ijazah. Cobalah masuk Google dan ketik kata kunci ”jual ijazah”. Di sana, kita akan menemukan iklan yang menawarkan gelar S-2 berbiaya Rp 2 juta–Rp3,5 juta, bergantung pilihan universitasnya. Untuk gelar S-3, tarifnya Rp2,5 juta–Rp 4 juta. Syaratnya, cukup kirim biodata dan transfer uang. Miris, bukan?

Skilled Worker

Fakta-fakta itu jelas berkaitan langsung dengan kompetensi skilled worker. Mereka memang menyandang gelar sarjana, baik S-1 atau bahkan S-2, tetapi semuanya hanya ”sarjana kertas”. Bukan atas dasar kompetensi yang dimilikinya.

Itu sebabnya 17 persen dari lulusan perguruan tinggi kita masih menganggur. Kisah tentang Ignatius Ryan Tumiwa, lulusan S-2 yang minta agar bisa membunuh dirinya secara legal, seakan-akan mengukuhkan potret tersebut. Dia frustrasi karena sudah bertahun-tahun lulus, tapi masih menganggur.


Kita tentu tidak boleh membiarkan hal semacam itu menjadi berlarut-larut. Akhir 2015 kita akan memasuki era ASEAN Economic Community (AEC). Supaya bisa bersaing, kita membutuhkan SDM-SDM yang kompeten. Bukan sarjana kertas.

Masalah yang terjadi di dunia pendidikan kita ini akan menjadi tantangan tersendiri, bukan hanya bagi pemerintahan Jokowi-JK, tetapi bagi kita semua. Di sinilah, saya kira, revolusi mental, termasuk dalam bidang pendidikan, akan menemukan relevansinya.*

*)Jawapos kolumnis 30/10/2014

Revolusi Mental Berbahasa


Saat mengucapkan teks Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, para pemuda dan tokoh bangsa ini menyadari sepenuhnya perlunya bangsa ini memiliki identitas yang kuat. Ya, identitas bertanah air, berbangsa, dan berbahasa yang satu. Bahasa, secara partikular, merupakan pengikat dan sekaligus penanda identitas berbangsa dan bernegara ini. Namun, pada perkembangan belakangan, identitas berbahasa itu makin meluntur. Ada fenomena semakin lemahnya kecenderungan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi publik. Alih-alih penguatan bahasa Indonesia, ada kecenderungan di tengah komponen bangsa ini untuk lebih mengutamakan penggunaan bahasa Inggris daripada bahasa nasional sendiri. Pada tataran tertentu, ironisnya, kecenderungan tersebut justru dilakukan sendiri oleh aparatur pemerintah dan negara ini.

Lihatlah kasus-kasus berikut. Penggunaan istilah-istilah bahasa Inggris sangat mudah dijumpai di sejumlah kantor pemerintahan dan layanan publik di negeri ini dalam babakan waktu terakhir. Saat berada di tengah lalu lintas, mata publik segera bisa menangkap istilah-istilah asing, seperti light on, safety riding, car free day, dan quick wins.

Padahal, bahasa Indonesia juga kaya dengan perbendaharaan bahasa yang bisa digunakan untuk menjelaskan dan menyampaikan makna dari istilah-istilah itu. Tapi, mengapa istilah safety riding cenderung lebih sering dikampanyekan daripada ”berkendara aman”? Mengapa pula istilah light on lebih kerap dipakai daripada ”nyalakan lampu”? Juga car free day daripada ”hari terbebas kendaraan bermotor”?

Kasus umbar bahasa asing daripada bahasa Indonesia di atas tidak hanya dilakukan di jalanan oleh para aparatur pemerintah kita. Di kantor-kantor layanan publik, masyarakat juga bisa dengan mudah menjumpai kasus umbar bahasa asing itu. Lihatlah istilah-istilah seperti samsat corner dan quality assurance. Kita masih punya istilah ”pusat layanan samsat”, namun ditinggalkan dengan menggantinya dengan istilah samsat corner. Kita masih punya istilah ”penjaminan mutu”, namun ditinggalkan demi menjaga gengsi istilah quality assurance.


Ada krisis identitas yang akut di tengah-tengah sikap bangsa ini terhadap bahasa nasionalnya sendiri. Ironisnya, aparatur pemerintah dan negara menjadi pelakunya sendiri. Mereka gagal menjadi panutan atau teladan terhadap sikap bangga dengan bahasa nasional sendiri, termasuk menjadi pemakai bahasa nasional secara baik dan benar. Kesadaran untuk berbangga dengan bahasa Indonesia memang sedang terpuruk dan sekaligus dipertaruhkan. Harapan dan kebutuhan berbahasa Indonesia yang baik dan benar akhirnya disikapi secara salah kaprah sama sekali oleh pemerintah melalui kebijakan review kurikulum di semua jenjang pendidikan di atas. Di luar itu, kesadaran besar di luar sektor pendidikan tidak tumbuh subur.

Pemegang kekuasaan di negeri ini patut menyadari sepenuhnya bahwa kegagalan mereka untuk menjadi model pemakai bahasa Indonesia yang baik memiliki dampak besar di masyarakat secara luas. Pertama, publik segera akan merasa bahwa peningkatan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar hanya retorika kosong dari pemerintah dan atau negara. Tiadanya teladan dari aparatur pemerintah dan negara hanya akan menjauhkan maksud kebutuhan atas kemampuan berbahasa nasional secara baik dan benar dimaksud. Lebih jauh, penggunaan bahasa asing dalam program-program pemerintahan justru akan menimbulkan ketidakpercayaan diri anak bangsa terhadap bahasa Indonesia. Pada titik paling ekstrem, kepentingan lebih dalam untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia akan ditawar oleh preferensi penggunaan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia oleh aparat pemerintah dan negara sendiri.

Padahal, secara demografis, gugusan masyarakat kita masih banyak terdiri atas mereka dengan tingkat pendidikan rendah dan penghasilan ekonomi yang masih terbatas. Jumlah kelas bawah atau wong cilikjauh lebih besar daripada kelas atas atau elite. Dengan segala keterbatasan itu, mereka masih asing dengan pemahaman atas istilah-istilah yang berasal dari luar kekayaan kultural dan sosiologis mereka sendiri. Karena itu, yang kedua, kasus umbar bahasa asing menjadikan kampanye dan sosialisasi kebijakan nasional tidak akan bisa maksimal. Penggunaan istilah-istilah asing untuk program-program pemerintah, alih-alih membantu sampainya pesan ke masyarakat, malah membuat bingung publik. Publik di akar rumput akan merasa tercerabut dari akar tradisionalnya, baik dari sisi bahasa maupun budaya.


Mengapa begitu? Sebab, prinsip ”kedekatan jarak” (atau dalam ilmu komunikasi disebut dengan istilah proximity/proksimitas)ditinggalkan sama sekali oleh praktik umbar bahasa asing di atas. Seharusnya, komunikasi yang baik dilakukan dengan menggunakan instrumen dan kekayaan komunikasi, khususnya bahasa, yang dekat dengan perbendaharaan kultural dan sosial audiensnya. Dengan latar belakang demografis dan sosiologis seperti diuraikan di atas, masyarakat secara kebanyakan memiliki jarak yang relatif jauh dengan istilah-istilah bahasa asing di atas. Saat terdapat jarak, saat itu pula pesan komunikasi sudah memulai awal kegagalannya untuk bisa ditangkap audiensnya.

Atas dasar itu, bertemunya ketiadaan teladan elite dengan kegagalan komunikasi publik semakin memperpuruk kesadaran bangsa ini secara luas terhadap pentingnya kebanggaan dan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Apalagi, globalisasi dengan kekuatan bahasa asingnya yang tidak mungkin bisa ditolak kehadirannya membuat bahasa nasional menjadi objek tantangan dari bombardir arus masuknya budaya dan peradaban asing. Memang sungguh ironis, kebutuhan untuk memperkuat kemampuan berbahasa Indonesia secara baik dan benar ditantang secara langsung oleh pengeroposan terhadap kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar itu sendiri. Justru ironisnya, praktik ini diawali perilaku berbahasa aparatur pemerintah dan negara sendiri.

Negeri ini memang penuh dengan berbagai kontradiksi dan ironi. Krisis identitas nasional diperparah masih menguatnya ironi dan kontradiksi ini. Dan bahasa Indonesia sebagai salah satu harapan, kebanggaan, serta kebutuhan nasional harus dihadapkan pula pada ironi dan kontradiksi ini. Maka, diperlukan revolusi mental dalam berbahasa Indonesia. Revolusi mental yang kini menjadi ikon kebijakan pemerintahan baru sepatutnya juga diperkuat dengan menyentuh sikap serta perilaku berbahasa bangsa ini. Semua itu harus diawali melalui teladan elite bangsa ini. Kita punya modal untuk itu: Presiden Jokowi selama ini dikenal sebagai tokoh yang hampir tidak pernah mengumbar penggunaan bahasa asing dalam pidato-pidatonya. (Akh. Muzakki*)

*)Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya

Absurditas Level Dewa


Sisifisus bisa beristirahat dengan tenang sekarang. Sosok raja dalam mitologi Yunani itu tak perlu lagi menjalani hukuman para dewa: mendorong batu ke puncak gunung, menggelindingkannya lagi ke bawah, dan mendorongnya kembali, begitu terus-menerus. Sisifus bisa pensiun dari hukuman yang menjadikannya simbol absurditas itu karena telah digantikan para pemain PSS Sleman dan PSIS Semarang. Sebab, apa yang mereka pertontonkan di Stadion Sasana Krida AAU, Sleman, Jogjakarta, Minggu sore (26/10), sungguh ’’melampaui nalar’’, sebuah absurditas level dewa.

Bayangkan, dalam satu kesempatan, kiper PSIS sampai berlari menggagalkan upaya pemain PSS membobol gawang mereka sendiri. Bayangkan juga, sampai menit ke-75, sembari menunggu hasil laga di Samarinda dan Martapura yang berpengaruh terhadap calon lawan di semifinal, kedua tim hanya berdiam di area masing-masing dan bola tak pernah melewati garis tengah. Dan, semua ’’kegilaan’’ yang melukai sportivitas itu hanya dilakukan demi menghindari bertemu sebuah tim di semifinal. Hanya karena tim tersebut dianggap telah di-setting untuk menjadi juara di semifinal.

Jadi, dengan kompetisi absurd seperti itu, masihkah kita kecewa atau marah-marah ketika tim nasional di segala level jadi bulan-bulanan di ajang antarbangsa? Masih bisakah kita berharap sepak bola Indonesia berbicara di tingkat dunia kalau berbagai pelanggaran terhadap sportivitas terjadi di semua level kompetisi? Kita sungguh tidak tahu dari mana perbaikan kualitas sepak bola tanah air harus dimulai. Setelah sekian banyak persoalan pelik, semua terasa semakin gelap sekarang setelah akal sehat dilecehkan habis-habisan di Sasana Krida.


Dan, ingat, ini bukan kejadian pertama di liga kita. Serta, tak tertutup kemungkinan akan terulang kembali. Bahkan, tim nasional kita pernah melakukan tindakan menjijikkan serupa di Piala Tiger 1998. Tindakan cepat dan hukuman tegas Komisi Disiplin PSSI tentu harus diapresiasi. Tapi, jangan lupa, PSSI-lah pihak yang pertama harus disalahkan atas segala kesemrawutan tersebut.

Kita, misalnya, sangat patut mempertanyakan bagaimana PT Liga Indonesia yang ditunjuk PSSI sebagai operator Indonesia Super League dan Divisi Utama melakukan verifikasi. Sebab, di Divisi Utama saja, begitu banyak tim yang memilih walkover karena tak punya dana. Bahkan, ada yang menarik diri dari kompetisi dengan alasan serupa. Di ISL yang merupakan kompetisi level teratas pun, masih ada tim seperti Persiram Raja Ampat yang menjadi ’’musafir’’ karena tak punya stadion di kota mereka sendiri.

Padahal, kompetisi adalah pilar pembinaan. Tapi, kini, kian lama pilar itu kian doyong. Dan, kita sungguh tak tahu, setelah melihat bagaimana PSSI bekerja, apakah kita masih bisa berharap melihatnya tegak kembali?*

*) Jati Diri, Jawapos 29/10/2014