Penyediaan Buku Pascamoratorium K-13 (Misbahul Huda)
Keputusan Anies Baswedan, menteri kebudayaan dan pendidikan dasar-menengah, kembali ke kurikulum 2006 adalah langkah mundur. Apalagi, alasan moratorium K-13 juga tidak mendasar, sangat teknis operasional. Tidak heran jika banyak yang menduga kebijakan tersebut kental muatan politik, sekadar memenuhi euforia moratorium rezim Joko Widodo untuk menunjukkan keinginan ”asal beda” dengan pemerintahan sebelumnya. Bahkan, menteri secerdas Anies Baswedan seperti kehilangan kecerdasannya dengan ”melupakan” bahwa dirinya ikut menyusun K-13 (Jawa Pos, 9/12).
Kurikulum 2013 secara substansi diakui oleh banyak pihak tidak bermasalah. Kalaupun ada masalah teknis, mestinya dicarikan solusi perbaikan, bukan balik mundur ke KTSP. Jika alasan moratorium K-13 adalah ketidaksiapan guru dan pengadaan buku, kembali ke KTSP bukan berarti bebas dari dua persoalan besar tersebut. Bahkan mungkin lebih rumit lagi.
Apalagi, M. Nuh, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, juga membantah tuduhan ketidaksiapan guru. Sebab, Kemendikbud pernah mengadakan UKG (uji kompetensi guru) untuk mengevaluasi penguasaan guru terhadap kurikulum 2013. Nilai UKG saat itu rata-rata 71. Jauh lebih baik ketimbang nilai UKG terhadap KTSP pada 2012 dengan rata-rata 45. Padahal, kurikulum 2006 itu sudah enam tahun berlaku.
Paradoks Pengadaan Buku
Di satu sisi, Anies mengakui bahwa mengubah kurikulum pendidikan seperti mengubah arah kapal tanker sepanjang 500 meter. Membelokkan arah laju kapal itu tidak bisa langsung, butuh haluan panjang. Namun, di sisi lain, Anies justru bermanuver mendadak dan berbelok ke jalur lama. Padahal, dia belum genap dua bulan menjadi menteri. Belum cukup waktu untuk mengidentifikasi permasalahan riil kurikulum 2013 (JPNN, 9/12).
Di satu sisi, Anies menilai persoalan keterlambatan distribusi buku sebagai alasan utama moratorium K-13. Namun, di sisi lain, kebijakan kembali ke KTSP juga tidak menyiapkan sama sekali buku KTSP. Bahkan Kemendikbud berterus terang belum punya kebijakan apa-apa soal penyediaan buku KTSP itu (Jawa Pos, 8/12).
Kalau Kemendikbud tidak mampu menyediakan buku KTSP, menyoal ketersediaan buku sebagai alasan kebijakan moratorium K-13 itu mestinya tidak relevan lagi. Ketidaksiapan pengadaan buku KTSP diakui oleh Mendikbud Anies di Kemendikbud, Jakarta, Sabtu (6/12). ”Pokoknya, saya enggak bisa mengimbau (orang tua beli buku), bergantung dari sekolah. Dan daerah juga punya porsi berbeda-beda,” ucap dia.
Kali ini Anies hendak ”melawak” dengan lelucon yang tidak lucu. Ketika pemerintah cuci tangan dengan tidak menyediakan buku KTSP, pastilah orang tua terpaksa membeli meskipun dengan berat hati. Sebab, harga pasarnya bisa 3–4 kali lebih mahal daripada buku murah K-13 yang rata-rata di bawah Rp 10.000 per eksemplar. Bagi orang tua yang mampu, angka tersebut tidak memberatkan. Tetapi, bagaimana dengan banyak orang tua kurang mampu yang masih berharap pendidikan dan buku gratis sebagai realisasi anggaran pendidikan yang ratusan triliun rupiah itu?
Di sisi lain, kalaupun orang tua bersedia membeli buku sendiri, ketersediaan buku KTSP di toko buku sangat terbatas, belum tentu mencukupi. Masih jelas dalam ingatan kita, pengadaan serentak buku K-13 dengan cara ditenderkan serempak saja tidak selesai dalam setahun, apalagi KTSP yang dilepas dengan mekanisme pasar.
Berharap pemerintah daerah/kota menyediakan buku gratis dalam tempo sesingkat ini adalah hal yang mustahil. Sepertinya lupa dipertimbangkan bahwa membuat mata anggaran baru atau merevisi APBD, kemudian tender dan pencetakan buku serta distribusinya tidak cukup dalam enam bulan. Sementara pelaksanaan penggantian kurikulum tersebut akan efektif pada semester II 2015 yang tinggal tiga pekan lagi. Mana mungkin?
Bisa jadi Kemendikbud berharap dana BOS dan DAK yang sudah ada dan beredar di sekolah bisa segera dialihkan untuk pengadaan buku KTSP secara mandiri. Tetapi, mungkin lupa bahwa dana tersebut sudah terikat kontrak payung dengan LKPP untuk pengadaan buku kurikulum 2013.
Jika LKPP, Kemendikbud, atau sekolah dengan sepihak menghentikan kontrak tersebut, bukan tidak mungkin pemerintah cq Kemendikbud akan menerima hujan protes dan somasi dari puluhan rekanan percetakan yang sudah berdarah-darah mencetak buku K-13. Mereka bersiap-siap mem-PTUN-kan Kemendikbud jika penghentian kontrak sepihak itu terjadi. Kekecewaan tersebut bisa dimaklumi. Sebab, di antara percetakan, ada yang puluhan bahkan ratusan miliar rupiah dananya belum bisa dicairkan, sementara bukunya terkatung-katung di gudang dan atau agen pengiriman.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Sebab, beberapa sekolah sudah menolak dikirimi buku K-13 sejak Anies menghentikan kurikulum itu. Bahkan, yang sudah dikirimi pun enggan membayar. Ketika ditagih, dengan enteng mereka mempersilakan percetakan mengambil kembali buku tersebut dari sekolah.
Bisa dibayangkan berapa triliun rupiah kerugian pemerintah yang juga berdampak pada kerugian perusahaan percetakan –yang dengan margin tipis telah rela bekerja demi mencerdaskan bangsa, tapi harus berakhir tragis.
Masyarakat berhak menuntut komitmen dan tanggung jawab Kemendikbud atas penyediaan fasilitas buku sesuai KTSP. Mengingat, anggaran pendidikan nasional yang dialokasikan pada kementerian tersebut ratusan triliun rupiah dan untuk apa saja. Jika tidak, tidak salah bila publik mengecam kebijakan moratorium K-13 itu sebagai langkah mundur yang membuat pendidikan di negeri ini semakin amburadul. (*)
*Pengusaha, Penulis Buku, dan Motivator
(Sumber : Opini Jawapos 16/12/2014)
0 komentar:
Post a Comment