Absurditas Level Dewa


Sisifisus bisa beristirahat dengan tenang sekarang. Sosok raja dalam mitologi Yunani itu tak perlu lagi menjalani hukuman para dewa: mendorong batu ke puncak gunung, menggelindingkannya lagi ke bawah, dan mendorongnya kembali, begitu terus-menerus. Sisifus bisa pensiun dari hukuman yang menjadikannya simbol absurditas itu karena telah digantikan para pemain PSS Sleman dan PSIS Semarang. Sebab, apa yang mereka pertontonkan di Stadion Sasana Krida AAU, Sleman, Jogjakarta, Minggu sore (26/10), sungguh ’’melampaui nalar’’, sebuah absurditas level dewa.

Bayangkan, dalam satu kesempatan, kiper PSIS sampai berlari menggagalkan upaya pemain PSS membobol gawang mereka sendiri. Bayangkan juga, sampai menit ke-75, sembari menunggu hasil laga di Samarinda dan Martapura yang berpengaruh terhadap calon lawan di semifinal, kedua tim hanya berdiam di area masing-masing dan bola tak pernah melewati garis tengah. Dan, semua ’’kegilaan’’ yang melukai sportivitas itu hanya dilakukan demi menghindari bertemu sebuah tim di semifinal. Hanya karena tim tersebut dianggap telah di-setting untuk menjadi juara di semifinal.

Jadi, dengan kompetisi absurd seperti itu, masihkah kita kecewa atau marah-marah ketika tim nasional di segala level jadi bulan-bulanan di ajang antarbangsa? Masih bisakah kita berharap sepak bola Indonesia berbicara di tingkat dunia kalau berbagai pelanggaran terhadap sportivitas terjadi di semua level kompetisi? Kita sungguh tidak tahu dari mana perbaikan kualitas sepak bola tanah air harus dimulai. Setelah sekian banyak persoalan pelik, semua terasa semakin gelap sekarang setelah akal sehat dilecehkan habis-habisan di Sasana Krida.


Dan, ingat, ini bukan kejadian pertama di liga kita. Serta, tak tertutup kemungkinan akan terulang kembali. Bahkan, tim nasional kita pernah melakukan tindakan menjijikkan serupa di Piala Tiger 1998. Tindakan cepat dan hukuman tegas Komisi Disiplin PSSI tentu harus diapresiasi. Tapi, jangan lupa, PSSI-lah pihak yang pertama harus disalahkan atas segala kesemrawutan tersebut.

Kita, misalnya, sangat patut mempertanyakan bagaimana PT Liga Indonesia yang ditunjuk PSSI sebagai operator Indonesia Super League dan Divisi Utama melakukan verifikasi. Sebab, di Divisi Utama saja, begitu banyak tim yang memilih walkover karena tak punya dana. Bahkan, ada yang menarik diri dari kompetisi dengan alasan serupa. Di ISL yang merupakan kompetisi level teratas pun, masih ada tim seperti Persiram Raja Ampat yang menjadi ’’musafir’’ karena tak punya stadion di kota mereka sendiri.

Padahal, kompetisi adalah pilar pembinaan. Tapi, kini, kian lama pilar itu kian doyong. Dan, kita sungguh tak tahu, setelah melihat bagaimana PSSI bekerja, apakah kita masih bisa berharap melihatnya tegak kembali?*

*) Jati Diri, Jawapos 29/10/2014

0 komentar:

Post a Comment