Meniru (Rhenald Kasali)


Anak kecil umumnya suka meniru. Ketika orang tuanya berangkat ke kantor sambil menenteng tas kerja, anak-anak suka mengikutinya. Saat kakaknya berangkat sekolah, adik kecil pun ingin ikut sekolah, minta dibelikan tas, buku, dan alat tulis. Lalu, berpura-pura belajar di rumah dengan mencorat-coret. Bahkan, lantai atau tembok di rumah jadi sasaran.

Malam, saat orang tuanya istirahat sambil –maaf– minum kopi dan merokok, anak-anak pun bisa menirunya. Anak lantas melinting kertas, menjepitnya dengan jari, dan mengisapnya. Kalau kurang pengawasan, lintingan kertas itu pun dibakar dan diisap asapnya sampai terbatuk-batuk.

Maka, hati-hatilah orang tua. Jangan melakukan sesuatu yang tidak pantas di hadapan anak-anak. Anda bakal repot di kemudian hari. Termasuk cara Anda marah saat mobil disalip pengemudi lain atau mendamprat orang yang tidak berdaya.

Bahkan, menjelang dewasa, remaja pun suka meniru. Entah itu gaya berbusana artis, potongan rambut, sampai sepeda motor dan pilihan sekolah. Bahkan, belakangan banyak orang dewasa yang suka merintis karir dengan ikut-ikutan meniru.

Belakangan ada juga kaum muda yang gemar meniru karir orang-orang sukses. Ada yang polos, ada juga yang sengak. Setelah coba-coba dan tidak berhasil, lama-lama belajar mengejek orang lain sambil colek-colek para ahli untuk mengadu domba agar terlihat hebat. 

Tidak sedikit di antara peniru yang mengganggu sehingga Twitter mereka terpaksa diblok walaupun mereka menunjukkan fotonya bersama bintang pujaan, seakan tidak ada masalah. Mereka diblok bukan karena pendapatnya hebat, melainkan karena amat mengganggu: annoying!

Main Kubu-kubuan

Lambat laun saling meniru juga mewabah di kalangan politisi. Mulai gaya interupsi, mengetuk palu tanpa mendengarkan, bersekongkol untuk mengegolkan orang tertentu dalam jabatan, lompat ”pagar”, gaya menekan dan menghina pejabat dalam rapat dengar pendapat, cara menulis komentar di social media, sampai membentuk partai tandingan. Tidak ketinggalan pula korupsi dalam pembebasan tanah, perizinan, sampai praktik kawin siri dan mobil sport mewah.


Jadilah sebuah tontonan yang tidak menarik kala politisi memainkan drama tiru-tiruan yang merugikan publik, pakai duit kita. Karakternya tidak ada. Hanya kumpulan topeng badut yang tidak memedulikan apa kata publik. Bayangkan, Partai Golkar berubah haluan dalam hitungan hari terhadap sikapnya yang diputuskan pada munas dengan ketukan penuh semangat dan tepuk tangan meriah saat menolak perppu terkait pilkada langsung. Satu partai menolak, yang lain buru-buru meniru. Padahal, bukan itu obrolan sehari-hari mereka. Ketika bos besar berubah haluan, pengikut bukannya mundur karena tidak percaya pada karakternya, melainkan ikut-ikutan berubah haluan.

Tiru-meniru di parlemen dengan terbentuknya dua kubu, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), juga cepat menjalar ke bawah, ditiru di tingkat provinsi. Di Jakarta, DPRD-nya ikut-ikutan memiliki kubu KMP. Kubu itu juga menempatkan dirinya sebagai pihak oposisi bagi pemerintahan daerah yang sekarang berkuasa.

Aksi tiru-tiru tidak hanya terjadi di DPRD. Ketika Presiden Joko Widodo melantik Basuki Tjahaja Purnama menjadi gubernur DKI Jakarta, ternyata ada pihak lain yang meniru dengan melantik orang lain juga sebagai gubernur DKI Jakarta. Yang membedakan cuma satu: sumber duitnya.

Benar-benar menggelikan.

Fenomena ATM

Sebetulnya di dunia bisnis, tiru-meniru adalah hal yang biasa. Kaum muda menyebutnya ATM. Bukan anjungan tunai mandiri, melainkan amati, tiru, dan modifikasi. Katanya, supaya tidak dianggap pecundang, jangan jadi plagiat. Harus ada perbaikan. Tapi, peniru yang hebat selalu diikuti R&D yang unggul, bukan cuma ikut-ikutan konyol.

Di dunia bisnis, kita mengenal juga perusahaan yang hasil tiruannya lebih baik ketimbang produk aslinya. Contohnya, Samsung asal Korea Selatan. Mereka meniru berbagai produk smartphone, termasuk iPad dari Apple. Kita tahu kini produk smartphone dan gadget Samsung merajai pasar. Kualitasnya baik, inovasi barunya jalan terus, harganya pun bersaing.

Begitu pula, produk-produk elektronik buatan Samsung kini mulai meninggalkan buatan Jepang. Kini kita lebih mudah menemukan TV merek Samsung ketimbang Sony.

Di negara kita pun fenomena serupa terjadi. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa perintis rokok mild adalah Bentoel. Tapi, Anda tentu bisa menilai siapa yang lebih sukses. Iya, HM Sampoerna.

Di bisnis perbankan, dulu Bank Niaga adalah yang mengawali penggunaan mesin ATM di tanah air. Lagi, Anda tentu bisa menilai bank mana yang kemudian memiliki jaringan mesin ATM paling banyak dan paling luas di negara ini.

Sayangnya, fenomena ATM semacam itu tidak terjadi di dunia politik. Sebab, hasil tiruannya betul-betul lebih buruk.

Maka, yang begini jangan kita tiru-tiru!)*

)* Akademisi, praktisi bisnis dan guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

(Sumber : Perspektif Jawapos 22 Desember 2014)

0 komentar:

Post a Comment