Mengukur Daya Tahan Jokowi
Pemerintahan Jokowi-JK berencana memangkas lagi subsidi bahan bakar minyak (BBM) melalui penerapan subsidi tetap sebesar Rp 2.000 per liter mulai bulan depan. Itu berarti, harga BBM –terutama premium– akan naik-turun mengikuti tren harga minyak dunia dan nilai tukar USD. Kebijakan yang sama pernah diterapkan di era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Titik krusial dari kebijakan itu adalah harga keekonomian. Penentuan harga keekonomian premium menggunakan acuan harga minyak mentah rata-rata di pasar Singapura (MOPS) dan posisi nilai tukar rupiah terhadap USD. Pekan lalu, dengan harga minyak dunia USD 60 per barel dan nilai tukar USD 12.300, nilai keekonomian premium Rp 8.665. Artinya, pemerintah hanya perlu memberikan subsidi Rp 165 per liter. Itu menurun bila dibandingkan dengan subsidi saat kenaikan harga BBM pada November lalu, yakni Rp 700 per liter.
Bila tren penurunan harga minyak dunia terus berlanjut dan nilai tukar berbalik menguat, pemerintah justru bisa meraup untung dari penjualan premium. Bila harga premium dipertahankan, kondisi tersebut berpeluang mendorong deflasi. Namun, saat harga minyak dunia meningkat dan nilai tukar terus melemah, harga keekonomian premium semakin mahal sehingga harga BBM otomatis naik lagi.
Perekonomian dunia yang demam gara-gara kebijakan Amerika Serikat memanggil pulang USD dan melimpahnya produksi minyak shale membuat harga minyak mentah dunia menurun. Akibatnya, perekonomian Rusia menurun sehingga rubel melemah. Kondisi itu diperkirakan berlanjut tahun depan dan sejumlah analis menyatakan, tidak tertutup kemungkinan kondisi tersebut akan bertahan hingga 2020. Artinya, peluang pelemahan rupiah diperkirakan masih berlanjut dan mungkin bertambah buruk jika neraca perdagangan Indonesia yang terlalu mengandalkan komoditas sawit dan batu bara tidak berubah.
Tahun depan pemerintahan Jokowi juga berencana mengurangi subsidi listrik rumah tangga 900 kW yang efeknya akan seperti kenaikan harga BBM. Demikian pula dengan pencabutan PSO (public service obligation) yang mengakibatkan harga tiket kereta api ekonomi jarak menengah dan jauh meningkat signifikan mulai Januari. Semua tekanan tersebut diprediksi dapat mengakibatkan inflasi meningkat sehingga melemahkan nilai tukar rupiah.
Kita sepakat dengan subsidi tetap BBM dan mengalihkan penghematan subsidi BBM pada pembangunan infrastruktur. Namun, pemerintah harus memastikan penghematan tersebut tidak digunakan untuk meningkatkan belanja aparatur. Pemerintah juga harus menerapkan kebijakan tepat waktu dengan mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat.
Kita memahami, secara politik, Jokowi-JK berjudi dengan keputusannya mengambil kebijakan nirpopuler. Boleh saja Jokowi yakin kebijakannya bermanfaat dalam jangka panjang. Namun, daya tahan masyarakat terhadap tekanan ekonomi secara bertubi-tubi memiliki batas. Sebab, tekanan pada daya beli masyarakat tidak saja dilakukan pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah. Jokowi-JK harus mampu mengukur dengan tepat agar tekanan tersebut tidak menjadi bola liar.
(Sumber Jati Diri Jawapos 20 Desember 2014)
0 komentar:
Post a Comment