Penjelasan Kasus JIS


Maraknya berita kekerasan seksual terhadap murid-murid yang  terjadi di Jakarta Internasional School (JIS), banyak disesali oleh berbagai pihak. JIS meruapakan suatu lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman serta nyaman dan melindungi anak didiknya dalam proses belajar, akan tetapi pelecehan terjadi pada murid TK yang justru dilakukan oleh pihak cleaning service. Walaupun berstandar internasional dengan Sistem Prosedure Operasional pengamanan yang ketat, faktanya malah para pelaku pedofilia bebas berkeliaran di JIS dan melakukan kegiatan pelecehan tersebut berkali-kali. Bahkan kasus buronan FBI William James Vahey menjadi staf pengajar di JIS selama 10 tahun, membutktikan bahwa pemberlakuan sistem rekrutmen yang dimiliki oleh pihak asing adalah sebuah sistem yang lemah, berbagai kompentensi tidak membuktikan seseorang tersebut mampu dan layak menjadi seorang pengajar yang baik.

Kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS) diduga telah terjadi bertahun-tahun. Menurut hasil investigasi tim Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam pertemuan para orang tua murid, ada orang tua yang mengaku anaknya pernah mengalami kejadian yang serupa yang ditemukan pada Maret 2014. JIS ternyata memiliki record yang panjang tentang kasus pelecehan seksual, tetapi adanya budaya barat yang diterapkan pada sekolah ini menjadi begitu janggal tentang masalah komunikasi pihak sekolah dan orang tua. Beberapa kejadian seksual diselesaikan lewat e-mail dan orang tua lebih memilih diam padahal ketika mereka memilih JIS sebagai sekolah untuk anak-anak mereka dengan harga yang fantastik, mereka mengharapkan JIS lebih mampu memberikan pendidikan serta tanggung jawab yang lebih sesuai dengan apa yang ia promosikan terhadap para orang tua murid.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh meminta agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk mengaudit sistem pendidikan di JIS. Dalam kurikulim pendidikan sekolah JIS sendiri tidak mengajarkan ilmu agama serta sejarah. Beberapa orang tua murid menggambarkan lingkungan sekolah dimana para murid memakai pakaian yang minim serta ciuman merupakan hal biasa dan dipertontokan di publik umum di lingkungan sekolah. Hal ini menjadi pemicu bagi para pekerja yang berada di JIS yang akhirnya menyalurkannya pada anak-anak TK yang mampu mereka bujuk dan menekan murid TK untuk diam dan tidak berkata pada siapa pun.

Hal ini mendorong Fellma Panjaitan untuk mengajak partisipasi orang tua serta orang-orang yang merasa kecewa dengan adanya berbagai kasus kejahatan seksual untuk mengisi petisi untuk dapat merevisi UU No. 23 tahun 2002 tentang pelecehan seksual, petisi ini sudah mendapatkan 25.530 suara. UU itu hanya memberi hukuman maksimal 15 tahun dan minimal 3 tahun bagi pelaku pencabulan. Sementara korban terus mempunyai trauma berat. Trauma yang amat berat dirasakan oleh korban akan menjadi bayangan kelam yang harus ia jalani seumur hidupnya, dan banyak kasus terjadi bahwa para pedofilia sendiri merupakan bagian yang dulunya menjadi korban dari tindakan kejahatan seksual, oleh karena itu trauma harus dilakukan secara serius, bukan hanya menjauhkan ia dengan lingkungan tempat ia sekolah dulu tetapi juga mental dan psikis yang harus dipulihkan secara terus menerus.


Pelecehan seksual yang terjadi adalah secuil masalah yang banyak terjadi di JIS, sekolah yang bertaraf internasional menjadi sekolah yang menanamkan budaya barat serta gaya hidup yang bayak bertentangan dengan agama serta bangsa. Lemahnya produk demokrasi untuk dapat melindungi masyarakatnya terlihat dari kasus JIS, bagaimana pihak JIS menutup rapat pada media tentang kejadian ini. Bahkan JIS memberikan sebuah pesan kepada pihak security untuk mematuhi peraturan, agar tidak membiarkan wartawan dan media masuk ke dalam sekolah. Pihak JIS pun seperti menutup-nutupi berbagai informasi seperti renovasi kamar mandi sekolah yang menjadi bukti pelecehan seksual untuk dapat menghilangkan bukti, serta pihak JIS yang menutup informasi para pengajar.

Kemendikbud menyatakan bahwa JIS tidak mempunyai izin resmi, berbagai polemik semakin mengkokohkan bahwa demokrasi semakin gagal dalam memberikan pelayanan dan melindungi masyarakat. Standar internasional merupakan standar yang lahir dari budaya barat yang bertentangan dengan fitrah manusia. Nilai nilai demokrasi, liberal serta sekuler semakin manjadi wabah yang menggerus fitrah manusia, yang menyebabkan kesengsaraan pada manusianya sendiri.

Berbagai permasalahan umat yang terjadi diselesaikan dengan asumsi logika yaitu semakin tinggi hukuman maka potensi pelanggaran semakin kecil, namun pada kenyataannya asumsi logika tersebut menjadi sesat dan malah semakin banyak tindak kejahatan yang terjadi dan tidak memberikan efek jera. Oleh karena itu publik harus membangun kesadaran agar menghindar dari maksiat dan rasa takut untuk melakukan kejahatan dengan meningkatkan iman dan taqwa. Sedangkan pemerintah seharusnya lebih tegas, jangan bertindak ketika ada kasus saja, terlihat bahwa pemerintah baru mengevaluasi sekolah JIS ketika kasus ini mencuat dan tegas memberantas pornografi. Sekian banyaknya kasus kejahatan seksual seharusnya menjadi pukulan bagi pemerintah untuk merubah tatanan hukum, karena pada kenyataannya semua menjadi penyelesaian yang lambat, kejahatan seksual akan selalu bertambah banyak, dan pemerintah masih sibuk mengevaluasi undang-undang. Lalu, apakah hukum saat ini sesuai dengan fitrah manusia, sedangkan pembuat hukum terbaik adalah Allah SWT.

*****

Keamanan yang diberlakukan di kompleks Jakarta International School (JIS) dipertanyakan. Karena dengan sistem keamanan yang ekstra ketat itu malah membuat tindak kejahatan seksual bagi anak didiknya tidak diketahui oleh orang lain. Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, standar sistem keamanan seperti itu terbukti melindungi anak didiknya.

“Oleh karena itu, pihak JIS juga harus bertanggung jawab dalam kasus tersebut,” pinta Haris dalam siaran persnya yang diterima wartawan di Jakarta, Jumat (25/4/2014). Haris meminta pengamanan ekstra ketat oleh JIS perlu ditinjau ulang. Peran serta masyarakat yang seharusnya ada, menjadi tidak ada karena akses masuk ke JIS yang tertutup.

LPSK sendiri saat ini sedang memproses permohonan perlindungan korban kekerasan seksual di JIS, dan akan diputuskan oleh Rapat Paripurna Pimpinan pada hari Senin 28 April 2014. Saat ini sedang berlangsung pelengkapan berkas oleh pihak korban dan pemeriksaan berkas oleh Divisi Penerimaan Permohonan (DPP) LPSK. Selain itu, menurut Wakil Ketua LPSK Lili Pintauli Siregar, pihaknya berjanji akan memproses permohonan sesuai dengan prosedur yang ada. Mengenai trauma yang dialami korban, LPSK siap memberikan bantuan medis dan psikososial sesuai dengan kebutuhan korban.

“Ada layanan-layanan yang bisa kami berikan kepada korban. Pada prinsipnya, LPSK siap membantu karena ini termasuk kejahatan serius,” ujarnya. Apalagi yang korban hadapi, selain tersangka, adalah sekolah internasional dan perusahaan outsourcing petugas kebersihan multinasional. Maka perlu pendampingan yang kuat baik baik korban baik secara hukum maupun fisik.

Diharapkan dengan adanya perlindungan LPSK, maka korban maupun saksi-saksi lain terkait kasus kekerasan seksual di JIS akan berani memberi keterangan sehingga kasus ini bisa terungkap secara terang benderang. “Kami juga mengharapkan agar pihak kepolisian bertindak cepat serta lembaga-lembaga lain seperti KPAI dan Kemendiknas turut membantu penyidik dengan melakukan tindakan sesuai wewenang masing-masing lembaga,” pungkasnya.

Pelanggaran HAM kasus JIS

Banyak kejahatan yang semakin hari semakin menjadi-jadi, kehidupan modern bukan berarti paralel dengan cara hidup yang sejatinya modern. Kita tidak dapat pastikan bahwa bukan hanya diseluruh wilayah kota dimana kita tinggal cukup aman untuk berkumpul dan bersosialisasi, baik di kantor, sekolah, transportasi, lingkungan rumah bahkan rumah kita sendiri juga bisa menjadi tempat kita dimangsa oleh bahaya kejahatan.

Pedofilia sebagai salah satu kejahatan seksual mungkin awalnya tidak menjadi perhatian utama kita seperti kejahatan narkoba. Atau mungkin saja pegiat anti pedofilia/kejahatan anak & wanita telah banyak konsentrasi disini tapi tetap saja kita masyarakat awam belum sepenuhnya memperhatikan selama ini. Namun dengan terungkapnya kasus di Jakarta International School (JIS) dan kejahatan yang sama di tempat-tempat yang tidak terbayangkan kita selama ini ternyata telah lama berlangsung, bahkan masuk kedalam jaringan pedofilia internasional.

Kita melihat suatu sinyal bahaya bahwa seperti juga kejahatan narkoba, kejahatan seksual seperti pedofilia harus masuk digolongkan menjadi bahaya laten terhadap kehidupan masa depan kemanusiaan terutama bagi anak dan wanita kita. Kejahatan seksual terhadap anak dan wanita dalam hal ini pedofilia harus dikaji oleh kalangan akademisi/pegiat hukum, penegak hukum dan negara untuk memasukkan kejahatan ini sebagai kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan Pedofilia tidak dapat lagi dipandang sebagai kejahatan biasa atau kejahatan dengan hukuman pidana yang ringan dan penegakan hukumnya biasa-biasa saja.

Bukti terkini yang menguatkan kita untuk berada pada pandangan yang sama adalah sebagaimana dirilis oleh Kompas.com 18/4/2014 yang sebagiannya dikutip disini bahwa sebelum kasus di Jakarta International School mencuat, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri juga tengah menangani kasus serupa dengan modus berbeda di Surabaya, Jawa Timur. Tim Cyber Crime Dittipideksus Bareskrim Polri menangkap Tjandra Adi Gunawan (37), Kamis (27/3/2014), dengan dugaan terlibat jaringan pedofilia internasional. Kasubdit Cyber Crime Dittipideksus Bareskrim Polri, Kombes Pol Rahmad Wibowo, mengatakan Tjandra beraksi menggunakan akun palsu di laman Facebook. “Pelaku menggunakan identitas seorang dokter perempuan yang menawarkan jasa konsultasi gratis untuk alat reproduksi,” ujar dia, Kamis (17/4/2014).


Dari hasil pemeriksaan sementara, kata Rahmad, Tjandra hanya butuh waktu 30 sampai 60 menit untuk membujuk korban menyerahkan foto alat pribadinya. Diduga, Tjandra sudah beraksi sejak lama, dengan temuan tak kurang dari 10.000 foto porno yang didominasi gambar anak di bawah umur. Adapun korban yang sudah diketahui baru enam orang, dengan rentang usia 10-14 tahun. Masih menurut Kombes Pol Rahmad Wibowo, kasus pedofilia merupakan fenomena gunung es. “Korban sebetulnya banyak tetapi yang berani mengungkap sedikit,” kata dia. Karenanya, di permukaan seolah kasus tak banyak terjadi padahal ada banyak kejadian tak terungkap.

Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Sub Dit Perjudian dan Asusila (Judisila) Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri, AKBP Dwi Kornansiwaty, sependapat soal fenomena gunung es ini. Menurut dia, setidaknya ada 1.635 kasus asusila anak sepanjang 2013. Rincian kasusnya, sebut Dwi, 614 pencabulan, 374 persetubuhan, dan 647 kekerasan fisik. Dia mengatakan sulitnya pengungkapan kasus paedofilia juga faktor trauma mendalam dari para korban. Trauma itu menyebabkan mereka kesulitan menceritakan kasus kekerasan seksual yang dialaminya, sekalipun kepada orangtua mereka sendiri.

Kejahatan terhadap kemanusiaan berarti perbuatan yang menjadi bagian kejahatan tersebar luas atau serangan sistematis terhadap populasi sipil.” ujar direktur eksekutif Internasional Bar Associaton, Mark Ellis. Dan dari laman Wikipedia dikutip tentang hal ini, bahwa diatur dalam Statuta Roma serta diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan ialah salah satu dari empat Pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Dengan definisi normatif tentang kejahatan terhadap kemanusiaan diatas, kemudian apakah pedofilia dapat digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan?. Menurut kita dapat, dengan alasan bahwa kejahatan pedofilia secara terstruktur, sistematis dan luas dilakukan pihak-pihak pelakunya yang masuk dalam jaringan pedofilia internasional sebagaimana yang telah diungkap oleh Kepolisian tersebut diatas dan sebagaimana contoh di bawah ini. Membuat kita bergidik selama ini adalah kejahatan pedofilia tidak hanya terjadi di kumpulan masyarakat biasa tetapi juga terjadi secara luas di kelompok tempat-tempat tidak terduga bahkan suci yang seharusnya steril dari kejahatan-kejahatan seperti ini.

Hal-hal Inilah yang semakin meyakinkan kita agar perhatian terhadap kejahatan seksual pedofilia harus segera digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan sehingga segala daya upaya dan perhatian penegakan hukumnya tidak setengah-tengah seperti terjadi pada kejahatan-kejahatan baisa lainnya. Kita tidak dapat membayangkan jangan-jangan fenomena gunung es sebagaimana disebut oleh pihak Kepolisian diatas memang benar-benar telah terjadi secara luas dan sistematis terbukti sudah masuk dalam jaringan pedofilia internasional, atau setidaknya di tempat-tempat yang mungkin akan mengejutkan kita dibelakang hari seperti yang terjadi di Jakarta International School.
Catatan : Postingan ini merupakan esai yang saya buat dalam rangka tugas PKN yang menjelaskan tentang hubungan antara kasus JIS dengan pelanggaran HAM. Jadi ketika ingin menjadikan sebagai sumber referensi mohon dicantumkan link sumbernya sebagai apresiasi kepada saya.
Terima kasih sudah membaca dan semoga bermanfaat.

0 komentar:

Post a Comment