Tragedi Maracanazo Brasil 1950


Laga final Piala Dunia 1950 menghadirkan sejarah buruk bagi publik sepakbola Brasil. Tragedi Maracana atau Maracanazo, demikian nama yang populer untuk menyebut salah satu kejutan terbesar yang pernah terjadi di dunia sepakbola. 

Maracanazo, diambil dari bahasa Portugal Maracanaço, yang diartikan secara kasar sebagai "Pukulan Maracana," merupakan partai pamungkas putaran final Piala Dunia 1950, di mana Brasil sendiri pada saat itu tercatat sebagai tuan rumah bersiap menghadapi Uruguay.
Final Piala Dunia 1950
Uruguay 2 - 1 Brasil
16 Juli 1950
Estadio do Maracana, Rio de Janeiro
Wasit: George Reader (Inggris)
Gol: 0-1 Albino Friaca Cardoso 47', 1-1 Juan Alberto Schiaffino 66', 2-1 Alcides Ghiggia 79'
Uruguay: Roque Maspoli; Matias Gonzalez, Eusebio Tejera, Schubert Gambetta, Obdulio Varela; Victor Rodriguez, Alcides Ghiggia, Julio Perez, Omar Oscar; Juan Alberto Schiaffino, Ruben Moran.
Pelatih: Juan Lopez Fontana
Brasil: Moacir Barbosa; Augusto da Costa, Juvenal Amarijo, Jose Carlos Bauer, Danilo Alvim; Bigonde, Albino Friaca Cardoso, Zizinho, Ademir Marques; Jair da Rosa Pinto, Francisco Aramburu.
Pelatih: Flavio Costa
Tidak seperti turnamen edisi sebelumnya, pemenang kali ini ditentukan oleh satu fase grup terkahir dengan emapat tim terakhir bermain dalam format round-robin, bukan tahap sistem gugur. Situasi saat itu, Selecao unggul satu angka atas La Celeste sebelum pertandingan. Kemenangan jelas dibutuhkan sang lawan, sementara tuan rumah hanya membutuhkan hasil imbang untuk merengkuh gelar juara. Kondisi saat itu membuat Brasil menjadi favorit untuk menggapai titel pertama mereka mengingat telah tampil superior di dua laga sebelumnya saat melumat habis Swedia 7-1 serta meremukkan Spanyol 6-1.

Sementara Uruguay praktis mencatatkan langkah kurang meyakinkan usai hanya bermain imbang 2-2 dengan Spanyol, dan menang tipis 3-2 atas Swedia. Kala itu, publik Brasil menatap laga itu dengan optimisme tinggi. Semua pasang mata tertuju pada kekuatan menakutkan mereka yang saat itu diwakili generasi Zizinho. Jumlah penonton yang hadir langsung di Rio de Janeiro pun membludak, mencapai angka 173,850 orang. Itu merupakan rekor penonton suatu pertandingan sepak bola terbanyak dalam sejarah yang bertahan sampai saat ini.

Sesuai prediksi, jalannya pertandingan pun berlangsung ketat. Usai mengakhiri babak pertama tanpa gol. Brasil langsung menggebrak di awal babak kedua ketika Albino Friaca Cardoso mencatatkan namanya di papan skor untuk membawa tuan rumah memimpin. Sontak ratusan ribu fans yang datang langsung ke stadion bergemuruh menyambut gol tersebut. PErcaya diri mereka akan menyabet kejayaan perdana di penas internasional pun kian meningkat. Hanya saja yang terjadi selanjutnya di luar perkiraan. Uruguay mampu keluar dari tekanan, bangkit dan menyamakan kedudukan menjadi 1-1 saat Alberto Schiaffino menaklukkan gawang Moacir Barbosa pada menit ke-66.

Kejadian itu belum menipiskan antusiasme penonton, yang beranggapan hasil imbang akan tetap mengantarkan mereka keluar sebagai juara. Hingga akhirnya mimpi buruk mereka pun datang 15 menit kemudian. Ialah Alcides Edgardo Ghiggia, winger andalan Uruguay saat itu, berhasil lolos dari kawalan untuk kemudian menceploskan bola ke gawang Brasil, sekaligus membawa timnya membalikkan keadaan. Keunggulan itu mampu dipertahankan dan Uruguay akhirnya keluar sebagai juara dunia untuk kedua kali. 
"Vonis pidana di Brasil maksimal paling berat 30 tahun, tapi saya dihukum seumur hidup!"
- Moacir Barbosa
Suasana selepas pertandingan, banyak orang menggambarkan keadaan stadion saat itu dipenuhi dengan kesunyian. Kecuali euforia yang dirayakan oleh para penggawa serta staf Uruguay pada saat itu. Banyak surat kabar saat itu menolak fakta bahwa tim mereka saat itu telah kalah. Beberapa pendukung bahkan bertindak di luar akal sehat dan mengakhiri hidup mereka. Pemain mendapat kecaman dari suporter, di antara mereka memutuskan pensiun secara diam-diam.

Insiden tersebut jelas membawa duka yang mendalam terutama bagi penggawa skuat Brasil yang telah berjuang di laga tersebut. Hujatan dari pada pendukung membuat beberapa dari mereka dianggap tidak layak lagi untuk mengenakan seragam kebesaran timnas Brasil. Bahkan secara ekstrim, kiper Moacir Barbosa kerap melontarkan keluhan bertahun-tahun sepanjang sisa hidupnya dengan pernyataan, "Vonis pidana di Brasil maksimal paling berat 30 tahun, tapi saya dihukum seumur hidup!" Sungguh duka yang amat mendalam dalam sejarah persepakbolaan Brasil.

Terima kasih sudah membaca dan semoga bermanfaat, apresiasi saya berikan untuk sumber artikel ini yaitu situs goal.

0 komentar:

Post a Comment