Puasa Arafah atau Puasa Mina ? (Agus Mustofa)
TAHUN ini umat Islam Indonesia akan mengalami Idul Adha yang kontroversial lagi. Penyebabnya adalah hilal awal Zulhijah 1435 H sangat tipis di ufuk barat. Dari hisab astrofotografi dan simulasi stellarium diketahui bahwa peralihan bulan Dzulqa’dah ke Zulhijah akan terjadi pada Rabu, 24 September 2014, pukul 13.14 WIB. Karena itu, saat matahari tenggelam, ketinggian hilal hanya sekitar 0,60 dilihat dari Jakarta.
Dengan kondisi itu, hampir bisa dipastikan hilal tidak akan kelihatan ketika dirukyat dari wilayah Indonesia. Karena pemerintah Indonesia menganut kriteria imkanur rukyat dengan batas ketinggian minimal 20, hampir bisa dipastikan pemerintah menetapkan hari raya Idul Adha jatuh pada Minggu, 5 Oktober 2014. Meskipun, Kementerian Agama baru mengumumkan itu sesudah sidang isbat 24 September 2014.
Hal itu akan mengakibatkan setidak-tidaknya dua konsekuensi yang akan dihadapi umat Islam Indonesia. Yang pertama, umat Islam bakal mengalami Idul Adha yang berbeda lagi. Muhammadiyah sebagai pengguna kriteria wujudul hilal hampir bisa dipastikan melakukan salat Id pada Sabtu, 4 Oktober 2014. Sedangkan NU bakal melaksanakan salat Id pada Minggu, 5 Oktober 2014, sebagaimana keputusan pemerintah.
Bagi Muhammadiyah, 1 Zulhijah sudah masuk setelah magrib 24 September 2014. Sebab, saat itu hilal masih wujud di atas horizon meskipun hanya 0,60. Dengan demikian, 10 Zulhijah –salat Id–bertepatan dengan Sabtu, 4 Oktober 2014.
Sedangkan, bagi NU dan pemerintah, 1 Zulhijah akan jatuh setelah magrib 25 September 2014 karena hilal tidak kelihatan. Karena itu, 10 Zulhijah versi tersebut bertepatan dengan Minggu, 5 Oktober 2014. Salat Id pun dilaksanakan pada Minggu itu.
Dari sisi kedewasaan umat, sebenarnya hal itu tidak akan menjadi masalah besar. Di antaranya, perbedaan semacam itu terjadi berulang-ulang. Terbukti, umat Islam bisa menoleransi keadaan tersebut. Tetapi, dari sisi ibadah, akan terjadi keanehan yang harus dipertimbangkan karena bisa mengganggu kualitas ibadah kita.
Yang kedua, umat Islam Indonesia akan mengalami keanehan peribadatan karena tahun ini pemerintah Arab Saudi sudah mengumumkan bahwa Idul Adha jatuh pada Sabtu, 4 Oktober 2014. Mengapa Arab Saudi mengumumkan itu jauh-jauh hari? Sebab, tahun ini adalah haji akbar bahwa pemerintah harus melakukan persiapan yang lebih matang untuk menyambut jumlah jamaah haji yang lebih besar, sekitar 4–5 juta.
Karena itu, wukuf di Padang Arafah akan terjadi pada Jumat, 3 Oktober 2014. Saat itu berarti 9 Zulhijah. Keesokan harinya –10 Zulhijah– umat Islam di seluruh dunia mesti melakukan salat Id, bersamaan dengan jamaah haji di Tanah Suci yang sedang melakukan ritual lempar jumrah, tawaf, maupun sai.
Hari raya Idul Adha disebut juga sebagai hari raya Haji. Berbeda dengan Idul Fitri yang bersifat lokal, Idul Adha adalah hari raya yang bersifat internasional: harus kompak di seluruh dunia. Sinkron dengan peristiwa haji di tanah suci. Karena itu, kontroversi pelaksanaan Idul Adha kali ini sesungguhnya mencederai semangat hari raya itu sendiri.
Maka, jika kita tidak ingin diribetkan oleh perdebatan kriteria hisab-rukyat yang tidak kunjung selesai di Indonesia, patokan yang paling gampang agar umat Islam tidak salah melangkah dalam beribadah adalah ini: lihatlah kapan jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah. Ketika jamaah haji di Tanah Suci sedang wukuf di Arafah, umat Islam di seluruh dunia disunahkan untuk melakukan puasa Arafah. Keesokan harinya kita melakukan salat Id bersama-sama.
Jika kita tidak melakukan cara itu, peristiwa yang membuat saya malu pada 2010 mungkin akan terulang kembali di sini. Waktu itu saya bermukim di Kairo, Mesir. Umat Islam Indonesia mengalami kontroversi pelaksanaan hari raya Idul Adha. Ada yang melaksanakan salat Id pada 16 Oktober dan ada pula yang 17 Oktober.
Masalahnya adalah terkait dengan pelaksanaan puasa Arafah. Bagi yang melaksanakan salat Id 16 Oktober, puasa Arafah bersamaan dengan jamaah haji yang sedang wukuf di Padang Arafah. Tetapi, bagi yang melakukan keesokan harinya, jamaah haji sudah selesai wukuf dan telah berpindah ke Mina. Karena itu, puasa sunahnya tidak berbarengan dengan ritual wukuf di Arafah.
Lantas, ada seorang kawan saya yang orang Mesir bertanya sambil tersenyum: ’’Umat Islam di Indonesia itu sedang berpuasa apa? Puasa Arafah ataukah puasa Mina? Bukankah puasa yang disunahkan oleh Rasulullah adalah puasa Arafah? mengapa mereka melakukan puasa Arafah justru saat jamaah haji sudah berada di Mina?’’
(*) Penulis buku-buku tasawuf modern, inisiator rukyat astrofotografi Indonesia (agusmustofa_63@yahoo.com).
Sumber : koran Jawa Pos 03/10/2014
0 komentar:
Post a Comment