Rintisan Kolaborasi Global LIPI dengan CERN: When Big Science pushes Big Engineering Science


LIPI pada tahun 2013 memulai kolaborasi dengan ALICE (A Large Ion Collider Experiment) yang merupakan salah satu percobaan di CERN. Sebagai kelanjutan kolaborasi itu, pada tanggal 18 Agustus sampai dengan 12 Oktober 2014, 7 peneliti Pusat Penelitian Informatika LIPI yaitu Didi Rosiyadi, Edi Kurniawan, Esa Prakasa, Nova Hadi Lestriandoko, Rifki Sadikin, Suharyo dan Taufiq Wirahman diundang untuk memulai keterlibatan langsung pada proyek riset di CERN.

Mungkin ada yang bertanya-tanya mengapa sebagai rintisan LIPI malah mengirim 6 peneliti informatika bukan fisika? Hal ini bukanlah keputusan gegabah dan serta merta, CERN dengan motonya "accelerating science" telah berkontribusi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak saja dalam bidang fisika seperti penemuan partikel Higgs Boson (populer disebut Partikel Tuhan) pada tahun 2012, CERN dikenal juga sebagai tempat lahirnya inovasi teknologi di bidang yang bukan fisika seperti di bidang informatika, yaitu ketika Tim Barness Lee (yang dikenal sebagai bapak internet) merumuskan dan menerapkan Hypertext Mark-up Language (HTML) yang menjadi bahasa standar perambah web di CERN sebagai alat untuk bertukar informasi. Bahkan, mode interaksi manusia dan mesin dengan menggunakan layar sentuh (touch screen) sudah mulai dikembangkan dan digunakan di CERN berapa puluh tahun yang lampau. Layar sentuh disediakan untuk mempermudah operator mengendalikan rumitnya pengoperasian akselerator di CERN. Suatu bentuk kemudahan yang umum kita rasakan pada masa sekarang, terutama saat menggunakan smartphone dan komputer tablet. Dengan fakta ini, permasalahan penelitian di CERN untuk bidang ilmu dan teknik komputer merupakan permasalahan penelitian yang berada di garda depan.

Sebelum diceritakan bentuk keterlibatan peneliti-peneliti LIPI, terlebih dahulu dijelaskan apa dan bagaimana percobaan ALICE di CERN. ALICE (A Large Ion Collider Experiment) merupakan satu dari empat percobaan di CERN yang menggunakan LHC (Large Hadron Collider). Cara kerja LHC adalah sebagai berikut: satu kelompok inti atom timbal atau proton dipacu secara terus menerus di LHC yang berbentuk seperti lingkaran sehingga memiliki kecepatan mendekati kecepatan cahaya yaitu sekitar 0.99999 kali kecepatan cahaya (3 x 108 meter/detik). Kelompok inti atom atau proton lainnya juga dipacu dengan kecepatan yang sama namun dengan arah berlawanan. Setelah itu, 2 kelompok itu ditabrakan yang menghasilkan energi sangat tinggi. Kondisi setelah tabrakan, dapat dikatakan dikatakan mirip dengan kondisi tepat sesaat (10-43 detik) setelah Big Bang. Sebagaimana diyakini hingga kini oleh para ilmuwan, Big Bang adalah ledakan dahsyat yang menjadi titik awal terbentuknya alam semesta.

Permasalahan penelitian yang ingin dijawab oleh ALICE adalah permasalahan pada bidang fisika partikel berenergi tinggi. ALICE diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: apa yang terjadi dengan materi ketika dipanaskan 100 ribu kali lebih panas daripada inti matahari? mengapa berat proton dan neurton 100 kali lebih berat dari partikel penyusunnya (kuark)? dan bisakah kuark sebagai penyusun proton dan neutron dibebaskan?

Cara peneliti di ALICE mengetahui jenis partikel yang tercipta setelah tabrakan adalah dengan menggunakan beberapa detektor di seputaran lokasi tabrakan. ALICE setidaknya menggunakan lebih dari 5 jenis detektor, yang masing-masing detektor memiliki kemampuan dan tujuan deteksi yang berbeda. Tugas detektor adalah merekam jejak lintasan partikel yang tercipta. Seperti kamera digital, detektor terhubung oleh sistem komputer berkinerja tinggi dan basis data untuk mengambil dan menyimpan jejak lintasan-lintasan partikel hasil tabrakan. Pada akhirnya, data hasil tabrakan yang tersimpan pada basis data dianalisis menggunakan sistem komputer berkinerja tinggi oleh fisikawan eksperimen untuk diketahui jenis partikel dan sifat-sifatnya.

Salah satu detektor yang pertama kali merekam jejak lintasan disebut dengan Inner Tracking System (ITS). ITS bertujuan untuk mendeteksi jenis kuark berat. Kuark berat dengan nama yang menarik seperti "charm" (menawan) dan "beauty" (indah). Untuk tujuan itu, ITS menggunakan jenis sensor partikel yang disebut Silicon Pixel Detector (SPD).

SPD merupakan sensor berukuran nano yang dimampatkan pada sebuah kepingan chip silikon sehingga disebut sebagai pixel chip. Sebuah pixel chip dibuat dengan ukuran lebar 15 mm, panjang 30 mm, dan ketebalan hingga 0.05 mm. Guna mencapai akurasi pengukuran tingkat tinggi maka detektor ITS mensyaratkan produksi pixel chip yang sesuai dengan spesifikasi teknik yang telah ditetapkan. Adanya variasi ukuran saat proses produksi pixel chip harus ditekan serendah mungkin. Namun sebagaimana yang lazimnya terjadi pada proses produksi skala besar, terdapat penyimpangan ukuran-ukuran fisik pixel chip, lebih besar atau pun lebih kecil dari ukuran yang diharapkan. Untuk pelaksanaan eksperimen, ITS memerlukan pixel chip dalam jumlah yang besar yaitu sekitar 50 ribu buah. Pemeriksaan ukuran dan bentuk secara manual dengan bantuan mikroskop merupakan hal yang sudah tentu melelahkan dan sulit mendapatkan ketelitian dan ketepatan tingkat tinggi. Oleh karena itu, pemeriksaan otomatis dengan menerapkan metode "computer vision" (penglihatan komputer) dan "image processing" (pengolahan citra) dapat membantu penjaminan mutu selama produksinya.

Sistem otomatisasi penjamin mutu pixel chip merupakan usulan murni dari Esa Prakasa dan Edi Kurniawan dari Pusat Penelitian Informatika (P2I) LIPI. Uniknya, ide sistem otomatisasi penjamin mutu pixel chip muncul berdasarkan pengalaman Esa Prakasa dalam bidang rekayasa biomedik selama beberapa tahun terakhir ini. Esa Prakasa sebelumnya pernah terlibat dalam pengembangan sistem pemeringkatan penyakit kulit psorasis dengan menggunakan kombinasi pengolahan citra 2 dan 3-dimensi di Malaysia. Demikian juga dengan Edi Kurniawan, riset terkait dengan pengolahan citra digital sudah pernah digelutinya beberapa tahun yang lampau di Australia. Dengan kontribusi ini, Esa Prakasa dan Edi Kurniawan secara langsung telah membantu dalam penyediaan proses produksi detektor ITS yang cepat dan akurat.

Big Data

Setelah detektor seperti ITS mengindra jejak lintasan partikel. Hasil indraan diubah menjadi variasi arus / tegangan listrik untuk kemudian diproses dan disimpan oleh sistem komputer. Ukuran data hasil detektor untuk satu tabrakan perdetiknya memiliki orde yang besar, yaitu lebih kurang sebesar data satu keping DVD (setiap detik !). Hal ini ditambah rumit dengan jumlah tabrakan yang juga sangat besar setiap detik. Sehingga, data harus cepat diproses dan disimpan agar tidak ada hasil tabrakan yang tidak terekam. Persoalan muncul yaitu bagaimana memproses dan menyimpan data dengan ukuran yang besar dalam batasan waktu yang singkat. Persoalan ini dalam dunia ilmu dan teknik komputer disebut dengan "Big Data". Sedangkan, pemrosesan dalam batasan waktu yang singkat disebut dengan sistem waktu nyata.

Para peneliti dan perekayasa komputer di ALICE merancang sebuah sistem yang disebut dengan DAQ (Data Acquisition) untuk memroses dan menyimpan data hasil tabrakan ke dalam sebuah "server" basis data dalam waktu yang singkat. Dalam DAQ data hasil tabrakan direkonstruksi dan dimampatkan sehingga data yang tersimpan berukuran lebih kecil daripada data mentah hasil penangkapan detektor. Rekonstruksi lintasan partikel adalah pekerjaan untuk membentuk lintasan partikel dalam ruang (3 dimensi) dan waktu berdasarkan hasil bacaan detektor yang umumnya bersifat 2 dimensi.

Rekonstruksi lintasan partikel harus dilakukan secara cepat, dalam orde seperseribu (10-3) detik. Dengan syarat ini, rekonstruksi dapat dilakukan hanya dengan melakukan penerapan algoritma tertentu berbasis komputasi berkinerja tinggi (high performance computing). Rifki Sadikin yang memiliki pengalaman dengan sistem komputer berkinerja tinggi serta pemrosesan paralel, serta Suharyo Sumowidagdo yang paham akan aspek fisika rekonstruksi lintasan partikel bergabung dengan grup kerja rekonstruksi di ALICE. Meskipun masih dalam tahap awal, keterlibatan LIPI pada grup kerja ini dapat berkontribusi pada optimisasi dan paralelisasi kode rekonstruksi sehingga memenuhi spesifikasi kecepatan komputasi rekonstruksi lintasan partikel.

Lebih jauh lagi, beberapa pertanyaan teknis yang berkaitan dengan DAQ di ALICE seperti: berapa besar ruang data yang dibutuhkan untuk menyimpan hasil tabrakan? Berapa kecepatan dan ukuran penyangga yang harus disediakan oleh jaringan antara detektor dan sistem basis data sehingga tidak terjadi lalu lintas data yang macet? Berapa waktu yang dibutuhkan dari kejadian tabrakan sampai dengan hasil tabrakan tersimpan di basis data. Pertanyaan-pertanyaan ini bisa dijawab apabila tersedia model dan simulasi jaringan komputer sebagai representasi DAQ. Rifki Sadikin, Nova Hadi Lestriandoko dan Taufiq Wirahman berkolaborasi dengan peneliti komputer di ALICE CERN untuk mengembangkan model dan simulasi ini. Diharapkan dengan ini DAQ yang dibangun memiliki kinerja optimal dengan biaya operasional serendah mungkin.

Ketika data hasil tabrakan dari detektor telah tersimpan dalam sistem penyimpanan, fisikawan dapat melakukan analisis pada data hasil tabrakan untuk mengetahui jenis dan sifat partikel yang tercipta. Analisis ini juga memerlukan komputer dengan kemampuan komputasi dan penyimpanan yang sangat besar. Sehingga tidak mungkin dilakukan pada sebuah komputer atau beberapa klaster komputer sekalipun karena akan akan memakan waktu komputasi yang sangat lama. Sebagai solusinya peneliti dan perekayasa di ALICE membuat sistem komputer terdistribusi dengan lingkup global yang disebut ALICE Grid. Sebagai salah satu bentuk kontribusi, LIPI telah secara fisik tergabung dengan ALICE grid bersama puluhan negara di dunia melalui fasilitas klaster komputer LIPI di Cibinong dan Bandung. Terhubungnya klaster komputer di Cibinong dan Bandung tidak lepas dari kerja keras Taufiq Wirahman dan beberapa peneliti grid computing di Pusat Penelitian Informatika LIPI.

Seluruh sistem data akuisisi dari detektor ALICE ke sistem basis data melalui DAQ, serta analisis fisika data tersebut, semuanya membentuk himpunan perangkat lunak yang sangat komplek dan berskala besar. Hal ini tentu memerlukan praktik rekayasa perangkat lunak yang baik. Untuk itu ALICE membuat kelompok kerja untuk membuat standar rekayasa perangkat lunak, mulai dari bagaimana standar kode, siklus pengembangan, pengujian perangkat lunak, dan kendali versi. Didi Rosiyadi bergabung dalam kelompok kerja ini dengan topik sistem pengujian perangkat lunak.

Itulah beberapa topik-topik penelitian yang tim LIPI berkolaborasi dengan peneliti/perekayasa di ALICE CERN. Seluruh topik diatas berkutat dalam bidang ilmu dan teknik komputer. Seperti pada awal tulisan ini, jelas sekali bahwa percobaan di CERN memiliki efek mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang informatika. Dalam konteks LIPI, dengan kolaborasi ini muncul harapan lain untuk mengukuhkan status LIPI sebagai institusi penelitian kelas dunia, sekaligus sebagai jalan pembuka mendapatkan pengakuan komunitas ilmiah global atas kontribusi peneliti Indonesia.

0 komentar:

Post a Comment